Adalah jiwa manusia di mana nalarnya seperti Dewa dan tempat tinggalnya adalah tubuh manusia, orang yang tidak mengenal jiwanya tidak bisa mengambil manfaat dari nalar dan tubuhnya, tetapi orang yang memiliki ilmu jiwa akan memiliki hidup yang bahagia dan penuh rahmat.
Minggu, 15 Oktober 2023
Abiogenesis
Tulisan ini adalah sedikit pengantar untuk menemanimu tidur. Mulanya hanya ada benda benda mati yang dimiliki oleh bumi seperti tanah, air, api (panas matahari), dan udara (oksigen). Dengan keempat benda mati tersebut atau yang lebih akrab kita sebut dengan keempat elemen dasar, terciptalah makhluk makhluk hidup. Dimulai dari makhluk makhluk yang sederhana seperti, bakteri, mikroba, dan makhluk makhluk mikroskopik yang tercipta secara spontan dari keempat elemen dasar tersebut. Lalu dari makhluk makhluk mikroskopik tersebut berevolusilah mereka menjadi makhluk makhluk dengan wujud yang lebih kompleks dan dengan ukuran yang semakin membesar. Evolusi adalah kata kunci untuk tulisan ini, di mana eksistensinya takkan terbantahkan baik dengan kreasionism maupun dari dalil dalil mentah yang dilontarkan oleh tokoh tokoh agamis, yang mengklaim bahwa biogenesislah yang seharusnya memiliki tempat di hati semua orang, dengan mengatakan bahwa kehidupan berawal dari sesuatu yang hidup, yakni Adam dan Hawa. Ya, tak dapat dipungkiri, Adam dan Hawa memang benar benar ada, dikarenakan yang mengatakannya adalah sesuatu yang tak pernah melakukan sebuah kesalahan, yakni Allah. Akan tetapi, fakta lapangan mengatakan hal yang lain dari apa yang dikatakan oleh sang logos tersebut.
Jika kita cermati, tampaknya ada sedikit teka teki yang disodorkan dari sang intelek pertama kepada makhluk yang telah dapat berfikir dan memiliki akal. Dalam ayat Al Qur'an QS Al Anbiya:30, dan QS An Nur:45, dikatakan bahwa makhluk hidup tercipta dari air. Ada pun QS As Sajdah:7, dan QS Al Hijr:26 dimana dalam kedua ayat tersebut dikatakan bahwa manusia tercipta dari tanah atau lumpur. Di sini, Allah berusaha memberi sedikit petunjuk kepada manusia tetang dari mana mereka berasal. Dan keempat ayat tersebut pun dapat audiens ketahui sejalan dengan konsep abiogenesis yang mengatakan bahwa kehidupan berasal dari materi materi mati, di mana Allah memberi petunjuk tentang dari mana makhluk berasal sebanyak 50%, yakni dari tanah dan air yang menciptakan lumpur yang membawa kehidupan. Dan 50%nya lagi dilengkapi oleh akal manusia dengen menambahkan dua elemen selanjutnya, yakni elemen api (panas matahari), dan udara (oksigen) sehingga terselenggaralah kehidupan primordial yang terus berevolusi. Dan petunjuk ini diberikan berabad abad lalu sebelum ditemukan dan digunakannyanya instrumen instrumen modern seperti mikroskop dan metode observasi. Ini mengagumkan! Dan, untuk membuktikan teori evolusi, audiens dapat mengamati perkembangan sebuah virus, dimana ia akan berubah wujud dan semakin ganas jika kita tidak sigap dalam menanggulanginya. Ada pun rumput liar dan semak semak. Semua orang tahu bahwa tak ada seorang pun atau siapa pun atau apa pun yang sengaja atau membawa benihnya ke tanah lapang, namun mengapa ia bisa hidup? Dan contoh yang terakhir datang dari sebuah selokan. Seperti sebelumnya, tak ada yang sengaja membuang atau menaruh telur telur ikan cere, ikan sepat, cupang sawah, atau pun yuyu. Tapi kita semua tahu bahwa mereka ada di dalam selokan. Dari mana mereka semua berasal kalau bukan dari bakteri biotik yang bergerak berevolusi.
Namun, Al Qur'an tidak sendirian dalam mengatakan tentang konsep abiogenesis. Jauh sebelum ayat pertama Al Qur'an diturunkan, konsep evolusi telah digagas oleh herakleitus yang berusaha mengatakan bahwa hakikat realitas adalah "menjadi" (gerak). Pandangannya mensiratkan akan gerak maju sebuah realitas, terutama makhluk, dari yang sederhana menjadi makhluk makhluk yang lebih kompleks. Ia tidak mengatakan secara langsung tentang evolusi, namun idenya mensiratkan dan menginspirasikan akan hal tersebut. Selain itu ada pula Demokritus, yang berargumen, "bahwa setiap materi tersusun dari atom atom yang tidak dapat dibagi lagi. Atom, layaknya permainan lego dimana sekumpulan balok dapat membentuk wujud wujud lain yang lebih kompleks. Satu balok sangat berarti bagi balok lainnya. Begitulah seterusnya". Jadi, setiap materi baik yang hidup atau pun yang mati tersusun dari atom atom yang tidak dapat dibagi lagi. Sebenarnya, yang dimaksud oleh Demokritus bukanlah atom, sebab atom pun masih dapat dibagi lagi. Yang sebenarnya ia maksud adalah proton, elektron, dan neutron, sebab mereka bertiga adalah partilel terkecil yang tak dapat dibagi lagi. Pandangan Demokritus ini memperlihatkan ketajaman nalar yang luar biasa, melihat belum ditemukannya alat alat untuk mengamati makhluk makhluk mikroskopik namun hanya dengan bantuan intelek ia mampu memastikan bahwa materi hidup maupun mati tersusun dari partikel partikel yang tak dapat dibagi lagi.
Dari sini dapat dipahami, bahwa wujud kompleks dari sebuah makhluk tersusun dan terkumpul dari partikel pertikel terkecil yang tidak dapat dibagi lagi, dan terus bergerak maju dalam evolusinya hingga mendapatkan wujud dan bentuk yang lebih unggul dari bentuk bentuk sebelumnya, maka lahirlah zaman jurasik, zaman kapak, zaman logam, hingga zaman modern seperti sekarang ini.
Creatio Ex Nihilo
Pada hakikatnya, alam semesta yang berisikan materi tidaklah bersifat qadim. Karena hakikat materi yang menjadi isi dari alam semesta adalah dapat tercipta dan dapat pula menjadi tiada, atau mendeterminasinya menjadi wujud lain. Seperti yang kita ketahui, bahwa segala yang ada pasti ada yang menyebabkannya ada. Sebagai contoh, kita dapat mengamati sebuah pohon yang memiliki kepadatan materi yang beragam. Mulanya ia berawal dari materi mati keempat elemen yang terus berevolusi hingga mendapatkan bentuk yang penuh menjadi sebuah pohon. Teori ini disebut dengan nama abiogenesis, teori yang mengatakan bahwa kehidupan dapat tercipta secara spontan dari keempat elemen dasar atau keempat benda benda mati. Baik, kita sudah mendapatkan titik awal dari sebuah materi yang kita amati, yakni sebuah pohon. Lalu, jika pohon dibakar sepenuhnya maka ia akan berubah menjadi hangus lalu menjadi abu, dari ada menjadi tiada, atau dari ada komplels menjadi ada primordial kembali, atau dapat disamakan dengan ketiadaan.
Inilah yang menjadikan alam semesta tidak selalu ada, dapat hancur, hilang, atau lenyap sewaktu waktu. Sesuatu yang tidak selalu ada mustahil disebut Tuhan. Makhluk hidup jelas dapat berawal dan hidup spontan dari benda benda mati, lalu siapakah yang mengawali dan menciptakan benda benda mati tersebut? Ada dengan sendirinya sama saja dengan mengatakan bahwa materi dan alam semesta bersifat qadim, dan kita sudah mengetahui bahwa itu adalah mustahil. Jika kita mengatakan bahwa alam semsesta dan materi yang mengisinya ada secara kebetulan, maka konsep ini benar benar keluar dari rasio yang ada, yang menyebabkannya tidak masuk akal. Coba anda gambarkan dalam media dan alat alat anda tentang kekosongan sebuah ruang. Perhatikanlah, pada awalnya hanya ada ruang kosong tanpa ada atau diisi oleh apapun. Lalu bagaimana kebetulan sekonyong konyong menghadirkan meteri dalam ruang kosong tersebut yang melahirkan dan berevolusi menjadi materi materi lain yang mengisi ruang tersebut? Tak masuk akal bukan?
Lalu, siapa yang menciptakan alam semesta beserta segala macam materi yang mengisinya? Karena alam semesta yang berisikan materi materi dapat tercipta dan dapat pula menjadi tiada, dapat disebabkan dan menyebabkan, ini mengindikasikan adanya sesuatu yang meng-ada-kan materi dan mengawali ke-ada-an yang lain. Dan itulah yang kita definisikan sebagai Tuhan, sang arsitek agung.
Legenda Holy Grail
Pada ayat ke 3 dalam surah Al – Ikhlas yang dapat kita artikan secara gamblang, mengatakan bahwa: Tuhan tidaklah beranak dan diperanakkan. Mungkin bagi para pengkaji Al – Qur’an, hafidz, atau pun mereka yang mendalami ilmu tafsir Al – Qur’an tidak menyadari bahwa ayat tersebut memiliki makna tersembunyi berupa relasi maut dengan legenda Eropa tentang kaum Merovingian. Ini dikarenakan wawasan yang mereka miliki hanya dari sisi islam dan kitab kitab fundamental saja tanpa ada kajian apapun tentang kitab kitab yang lebih sekuler pembahasannya, atau terbatasnya saluran informasi yang mereka miliki pula. Ayat tersebut seakan akan barusaha menyinggung, menyindir, dan mengatakan fakta yang sebenarnya seputar adanya sebuah agama yang menuhankan seorang nabi yang dianggap suci dari hadast dengan cara hidup selibat, yang ternyata tidak seperti yang dibayangkan oleh para penganut agama yang mereka kembangkan, yakni mereka yang menjalankan kehidupan selibat dengan meneladani Yesus yang fitrah dari pernikahan yang ternyata malah dikabarkan telah memperistri seorang yang dianggap pelacur bernama Maria Magdalena, dan telah memiliki keturunan yang dikenal dengan nama Merovingian, atau keturunan Davidic , sebelum kematiannya di tiang salib. Yang menarik, informasi yang disampaikan oleh pembawa berita gembira ini (Muhammad SAW) tidak menguasai ilmu baca dan tulis. Jika ayat ke tiga dari surah Al – Ikhlas ini terbukti benar, maka sebuah agama sekelas Nasrani akan tertampar keras oleh fakta yang tidak dapat mereka sembunyikan tersebut.
Lebih mengejutkan lagi,dalam buku Da Vinci Code Decoded dan buku Holy Blood, Holy Grail, disebutkan pula bahwa Yesus belumlah mati di tiang salib dan masih hidup untuk beberapa tahun ke depannya. Legenda ini mengatakan bahwa Yesus yang sempat sekarat lalu dipulihkan, bermigrasi beserta istrinya ke sebuah kota di selatan Perancis yang bernama Marseille dan meninggal dengan tenang beserta keluarga dan para pengawalnya, yakni Pure De Sion dan Templar.
Maria Magdalena yang oleh para biarawan Sion dan kesatria Templar diklaim sebagai Holy Grail, atau cawan yang menampung darah (mani) Yesus. Jika kita membicarakan Holy Grail maka ini akan merujuk kepada dua objek. Yang pertama merupakan objek benda yang merupakan sebuah cawan yang digunakan oleh Yesus pada perjamuan terakhir. Dan yang selanjutnya Holy Grail yang merujuk secara kiasan kepada seorang wadah yang menampung benih dari Yesus yang dianggap wafat dalam keadaan membujang, yang selanjutnya ditafsirkan dan dicontoh oleh gereja Katolik sebagai tritunggal suci yang sengaja mati di tiang salib untuk menebus dosa yang diwarisi oleh Adam karena memakan buah pengetahuan yang menyebabkan ia dapat mati karena memakannya di dalam surga, dengan menjalani kehidupan selibat dan berfokus untuk mewakili Tuhan di dunia. Maria Magdalena, yang menjadi focus pada pembahasan kita kali ini, disimbolkan dengan sebuah cawan (Grail) dan mawar. Itu sebabnya kita tak asing dengan istilah “Rose Mary” atau “Mawar Maria” yang merujuk kepada Maria Magdalena. Kisah cinta antara Yesus dengan Maria Magdalena dan janin dalam kandungannya berusaha ditutupi oleh gereja dengan membungkam orang orang yang dianggap mengancam stabilitas gereja dengan cara apapun, sehingga orang orang yang memiliki fakta tentang akta akta kelahiran dan kependudukan sipil pada abad pertama, di mana Yesus masih dalam genggaman kehidupan, mendapatkan kekuasaan dari gereja.
Atas sebab ini pula, banyak raja raja Eropa mendapatkan kekuasaan politik karena memiliki keterkaitan dengan garis keturunan Yesus. Sebut saja Childerick, Clovis dan Dagobert di mana ketiganya dianggap memiliki silsilah dari darah Davidic dan Merovingian dalam dirinya, yang kepemimpinannya diamini oleh Vatican. Bukan hanya orang orang Merovingian, bahkan Sauniere, seorang pendeta katolik biasa yang bertugas di Rennes Le Cheteau, yang hidup dalam kemiskinan, mendadak kaya raya karena menemukan empat perkamen rahasia dalam gerejanya yang ketika itu akan direnofasi. Dua perkamen tersebut berisi silsilah dan dua lagi berisi petunjuk yang menuju ke arah sebuah makam kosong di luar Rennes Le Cheteau, lalu teka teki pada perkamen Sauniere pun berhenti sampai di situ.
Rabu, 23 Juni 2021
Metafisika Keadilan
Hadirnya kesadaran akan ada-Nya ada-pencipta menimbulkan kuiditas yang merupakan pintu pintu hikmah yang dapat kita nikmati melalui tulisan ini, yang diantaranya: Memberikan sifat sifat wajib dan sifat mustahil akan-Nya. Jika ada-ciptaan telah menemukan dan membuktikan ada-Nya ada-pencipta, maka tahap selanjutnya adalah menetapkan sifat sifat wajib dan mustahil akan eksistensi-Nya yang merupakan konsekuensi real akan keber-ada-an-Nya dan keber-ada-an apa pun dan siapa pun yang tampak pada fenomena realitas. Seorang ayah tidak mungkin membunuh anaknya yang masih kecil terutama tanpa sebab musabab yang jelas, dan ada-pencipta pun tidak mungkin menghukum siapa pun tanpa sebab musabab yang jelas pula. Kehadiran ada-pencipta mengisyaratkan ada-Nya beberapa sifat, karena realitas menuntut ada-Nya definisi. Seperti sifat wajib pada fenomena air, karena ia ada dan menjadi bagian dalam realitas maka ada-ciptaan dapat memberikan aksiden kepadanya, seperti; jika di sentuh maka instrumen kita akan menjadi basah, jika di wadahi dan wadahnya diangkat maka ia memiliki berat, jika air tersebut menempati ruang yang terbuka maka ia dapat membuatnya menjadi penuh jika volumenya cukup. Jika berada pada suhu yang dingin air tersebut dapat menjadi keras karena membeku. Jika mendapat panas berlebih maka ia akan mengering dan menghilang. Sementara sifat mustahilnya adalah; tidak memiliki instrumen yang cukup untuk melakukan tugas kemakhlukkan, air tentu tidak dapat mengelak jika ia direbus atau dipanaskan hingga mengering, karena ia merupakan hyle mati.
Singkatnya, jika ada-pencipta telah terbukti sebagaimana ada-Nya, maka balasan akan setiap perbuatan pula pasti nyata dan benar ada-Nya, karena ada-pencipta merupakan bagian dari realitas maka Ia pun memiliki sifat, dan beberapa sifat-Nya antara lain; cinta dan kasih sayang yang maha luas (Arrahman, Arrahim) namun tetap adil dan tegas karena kuasa-Nya yang melahirkan sifat kehendak, bukan diam pasif maupun diam aktif. Karena sejak kapan diam-Nya ada-pencipta menjadi sebuah keunggulan? Kita tidak bisa menerima seorang pencuri berkeliaran bebas sementara kita hanya diam saja. Karena kasih sayang-Nya, Dia hadir bersama ada-ciptaan yang shaleh.
Dia adalah perbendaharaan yang tersembunyi, jika ada-ciptaan ingin mengetahui-Nya maka ia harus memberdayakan instrumennya dan meneguk segala macam manis-Nya pengetahuan akan-Nya. Atau mungkin ada-pencipta memiliki kehendak lain dengan memperkenalkan diri-Nya tanpa melalui instrumen yang terlatih. maujud juga menerima bahwa ada-pencipta memiliki sifat tanpa batas (Ein Sof) . Karena sifat tersebut merupakan keunggulan yang wajib dimiliki oleh ada-pencipta yang adi-kodrati. Karena keber-ada-an-Nya yang merupakan tanpa batas, maka Ia meliputi segala-Nya, baik alam dunia maupun alam malakut, di surga maupun di neraka, di sini atau di situ, namun Ia bukanlah ini dan itu. karena kemanapun kau berpaling di sanalah terdapat wajah-Nya.
Selasa, 14 Januari 2020
Tiga Pintu Hikmah Dan Tanggapan Terhadap Atheisme
Baik, langsung saja. Dari
pengamatan terhadap alam kita dapat membuka beberapa pintu hikmah yang
tersembunyi yang dapat dibuka dengan akal, baik nalar maupun akal budi, indra
dan hati. Dikatakan tersembunyi karena seringnya pintu-pintu hikmah tersebut
luput dari kesadaran maujud atau kerumitan maujud itu sendiri untuk
mengabstraksi setiap fenomena. Pintu hikmah yang pertama; bahwasanya pada
setiap fenomena realitas terdapat gradasi, baik dalam ekosistem atau pun
kehidupan dan aktifitas sehari-hari maujud itu sendiri, yang bertumpuk-tumpuk
yang bahkan dapat ditemui pada serial televisi. Contoh: setelah angka satu maka
angka yang lebih unggul selanjutnya adalah angka dua. Jika Sadra memiliki uang
sebanyak satu juta, bukankah dua juta akan lebih baik? (dalam hal ini bukan
berarti; jika satu wujud itu baik, bukankah dua wujud akan lebih baik? Karena
ini tidak masuk akal. Wujud adalah pemenang tunggal yang tiada tanding). Contoh
selanjutnya datang dari bayi, bayi itu tidaksama dengan anak SMA karena faktor
fisik, pengetahuan, pengalaman, kedewasaan, dan juga kehidupan sang bayi pun
baru saja dimulai. Demikian pula orang dewasa yang berbeda dengan anak SMA
karena faktor serupa dan juga ruang lingkupnya dipenuhi oleh tanggung jawab.
Orang parlemen berbeda dengan pengamen karena pengetahuan yang dimilikinya.
Singa berbeda dengan zebra karena naluri yang dimilikinya. Dan manusia berbeda
dengan monyet karena instrument yang digunakannya. Manusia didominasi dengan
akal, indra dan hati yang siap membimbingnya ke arah yang progresif, sedangkan
monyet didominasi oleh naluri. Maujud tidak dapat menciptakan hyle dan hanya
bisa pasrah ketika ia telah sakaratul maut. Ia hanya dapat menangkap, mengolah
apa yang telah tampak dan mempelajarinya. Itu artinya maujud telah menunjukkan
setidaknya dua ketidaksanggupannya dalam hal kehendak. Maujud tidak sanggup
menciptakan langit beserta gemerlap bintang dan planet-planetnya, sedangkan
lagit ada bukan karena ada dengan sendirinya atau pun qadim, sebab langit pun
terdiri dari susunan debu dan partikel yang memiliki gaya tarik semacam
grafitasi yang berkumpul dan menggumpal hingga mendapatkan bentuk seperti yang
kita lihat sekarang ini. Pertanyaan penting dalam paragraph ini ialah; siapa yang menyelenggarakan langit beserta
isinya tersebut?Kebetulan atau ada dengan sendirinya adalah jawaban yang
remeh melihat hasil terjadinya yang begitu menakjubkan. Adanya alam semesta
pastilah adanya unsur kesengajaan. Sedangkan dalil gradasi mengisyaratkan
adanya sesuatu yang melampaui maujud yang dapat menciptakan apa yang tidak
dapat diciptakan oleh maujud dimana makhluk yang paling cerdas ibarat seekor
monyet yang dibandingkan dengan manusia, dimana kecacatannya tampak begitu
jelas jika membandingkan makhluk terbaik dengan suatu gradasi puncak di atas
maujud.
Gradasi
puncak inilah yang diyakini telah meng-ada-kan alam dan menyelenggarakan
kehidupan. Semesta pastilah memiliki batas. Karena jika alam semesta memiliki
sifat tanpa batas maka yang tanpa batas menjadi jamak, wujud dan alam. Ini
merupakan suatu kemustahilan mengingat wujud tidak memerlukan tandingan, karena
ia adalah adikodrati dengan gradasi paling awal. Karena alam semesta memiliki
batas itu artinya alam semesta adalah fana dan tidak selalu ada.
Dengan
ketidakunggulan maujud, pembaca dapat menangkap isyarat keberadaan sesuatu pada
gradasi puncak yang mandiri dan mampu, yang tidak merasakan sakit dan hanya
memiliki keunggulan dan tidak memiliki keterbatasan yang menyebabkan ia selalu
ada. Inilah hasil analogi dari gradasi alam kepada kehidupan yang berakhir
dengan wujud niscaya yang adikodrati. Dan itu pula yang dinamakan dengan
kesadaran berketuhanan. Sadar akan adanya gradasi pada setiap langit yang
berakhir pada ‘prima causa’, Penyebab dari semua penyebab. Alam tidak mungkin
ada karena kebetulan, sebab tinta yang tanpa sengaja tertumpah takkan pernah
menjadi puisi.
Dan
juga tidaklah mungkin sekiranya alam menciptakan dirinya sendiri, sebab
kehendak hanya dimiliki oleh sesuatu yang berakal. Sedangkan alam tidaklah
berakal sehingga tidak memiliki kehendak. Wujud diidentikkan dengan akal karena
segala hal yang disifati dengan akal adalah kemuliaan. Bayangkan dengan flora
dan fauna yang tidak memiliki akal dan hanya menuruti nalurinya sendiri, tentu
keduanya tidak akan sanggup membangun sebuah peradaban, melainkan alam liar
dimana hukum rimbalah yang berkuasa. Jika alam semesta menciptakan dirinya
sendiri, itu artinya alam semesta yang didominasi oleh hyle mati memiliki
kehendak. Lalu kenapa tidak, setelah menciptakan dirinya sendiri, planet pluto
sebagai planet yang tersedia di jagad raya dan bagian dari alam mengerjakan
tugas kelompok bersama planet yang ia cintai? Atau mengapa batu tidak dapat
berjalan ke masjid dan menunaikan kewajibannya? Kenapa patty tidak dapat
menggoreng dirinya sendiri? Bukankah alam memiliki kehendak? Jikalau
alam menciptakan dirinya sendiri yang begitu hebat dan mengerikan, lantas apa
gerangan yang menyebabkan atheis tidak menyembah alam? Bukankah alam itu
adikodrati dengan gradasi di atas maujud, yang dapat menciptakan apa yang tidak
dapat diciptakan oleh maujud? Jika alam mampu menciptakan dirinya sendiri dan
tidak membutuhkan ritual penyembahan , bukankah dapat dikatakan bahwa ciptaan
tidak tahu diri dan tidak tahu balas budi? Bayangkan, sesosok maujud telah
di-ada-kan, ia dapat merasakan kelezatan makanan, merasakan nikmatnya rasa
kenyang setelah sebelumnya merasakan kelaparan, merasakan segarnya segelas air
putih di tengah keletihan, merasakan indahnya mencintai walau nasib kisahnya
tidak seberuntung yang lain. Meski ada terkadang terasa mengecewakan, menyebalkan, dan berat,
akan tetapi dengan ke-ada-an ini maujud dapat menjadi lebih bijak dan dewasa
dalam menyikapi suatu fenomena. Di manakah putih jika tanpa hitam? Di manakah
letak kedamaian jika tanpa kerusuhan? Seseorang menjadi buruk karena seseorang
ada yang menjadi baik. Seseorang menjadi pintar karena seseorang yang lain ada
yang menjadi bodoh. Makhluk terlahir dengan aksiden dualisnya, atau bahkan
lebih. Memang ada adalah kesempatan untuk mandapatkan nikmat yang hakiki di
tempat lain nanti, yang tidak akan pernah siapa pun rasakan jika ia tidak ada.
Itulah alasan mengapa banyak orang mengatakan bahwa hidup adalah anugrah.
Karena ada adalah kenikmatan.
Sedangkan
yang ke dua adalah tentang waktu. Waktu adalah hasil pengematan makhluk
terhadap alam. Sedangkan alam ada lebih dahulu ketimbang maujud yang membuat
gagasan tentang waktu tersebut. Waktu adalah hasil fenomena alam yang
berpangkal kepada gerak. Karena alam terus menerus bergerak hingga berevolusi
yang berpuncak pada maujud yang berakal, maka ia diikat oleh maujuddengan
waktu. Inilah kuiditas-Nya. Dan jika wujud mengandung unsur gerak, maka
pergerakan-Nya dapat diukur oleh waktu, seperti: sejak kapan? Sampai di mana?
Dan sedang apa? Jika pertanyaan ini dijawab maka dapat dikatakan bahwa wujud
tidaklah mutlak melainkan tumbuh dan berkembang dalam dan bersama waktu. Jadi
wujud adalah diam aktif yang tinggal di dalam dirinya sendiri. Jika ditelisik
melalui sudut pandang metafisika, biogenesis merupakan kenyataan yang konkret,
karena substansi kehidupan berasal dari sesuatu yang telah ada; yakni ada dalam
ide wujud yang menjadikannya maujud-maujud yang potensial menjadi aktual. Namun
jika aspek metafisika tidak dilibatkan dalam diskursus tersebut maka terma
kisah penciptaan jatuh ke dalam creation
ex nihilo penciptaan dari ketiadaan. Inilah sisi letak kekeliruan filsafat
Herakleitus, karena dalilnya tidak dapat diterapkan dalam konsep ketuhanan. Ia
hanya dapat diterapkan pada pasca penciptaan itu terjadi.
Ketiga;
20 sifat wujud dan juga 99 asma-Nya merupakan atribut yang maujud kenakan
kepada wujud akibat emanasi pancaran kasih sayang-Nya. Seperti; kita melihat
batu di toko material atau di pinggir jalan dimana jumlah batu lebih dari satu,
inilah kuantitasnya. Lalu setelah ditekan ternyata batu tersebut memiliki sifat
keras, jika diangkat ternyata batu tersebut memiliki berat, jika diperhatikan
batu tersebut memiliki warna, jika diketuk batu tersebut memiliki bunyi, dan
jika dipertimbangkan batu tersebut memiliki fungsi yakni untuk membangun sebuah
tanggul atau jalan beraspal misalnya. Inilah aksiden-aksiden yang melekat pada
esensi ada-nya batu. Sama halnya dengan wujud. Kita telah mendapati konteks
bahwa wujud merupakan adikodrati, dengan bermodalkan logika kepastian, kita
dapat menyematkan sifat-sifat wajib (pasti) dan sifat mustahil bagi-Nya, karena
segala aktifitas wujud adalah mulia. 20 sifat wujud dan 99 asma-Nya berusaha
mengatakan secara tersirat bahwa sang wujud benar-benar serius dengan aksiden
dan kuiditas adikodrati-Nya. Jadi wajar jika ada kontradiksi di dalamnya,
karena ketidak unggulan maujud itu sendiri yang memberi aksiden kepada-Nya yang
merupakan emanasi dari pada-Nya. Andai wujud tidak meng-ada-kan atau mengaktualkan
maujud maka maujud pun tidak akan memberikan aksiden kepada-Nya, karena yang
berakal hanya dia seorang. Di sini penulis berusaha mengajak para pembaca untuk
memisahkan antara prinsip dengan manifestasi, substansi dan aksiden, dan air
laut dengan garamnya agar dapat memisahkan antara yang kekal dan yang
sementara.
Senin, 30 April 2018
Deisme
Baik. Kita mulai. Tuhan
menitipkan makhluk kepada jagad raya karena jagad raya tercipta dengan
citra-Nya. Jika kita mendapati seorang pematung yang professional, pastinya ia
akan membuat patung yang baik dan menawan karena patung tersebut tercipta oleh
sang “professional”. Jika sang “professional” dapat membuat patung yang indah
karena “ke-profesionalan-nya”, terlebih Tuhan yang melampaui kata
“ke-profesionalan” tersebut, yang menjadikan jagad raya menjadi mandiri dalam
artian Tuhan melampaui kata ke-mandirian tersebut, yang tidak terlukiskan oleh
kata kata atau oleh apapun. Selain itu eksistensi sang Qadim yang an sich ialah
terbebas dari seluruh rantai batasan, sedangkan al hadist (jagad raya) adalah
terbatas dengan segala kekurangan dan ketergantungannya, karena tanpa Tuhan Semesta bukanlah apa apa, atau bahkan tiada. Jadi jika yang Qadim
memanifestasikan eksistensinya ke dalam jagad raya, maka kapasitas jagad raya
tidak akan sanggup menampung enksistensi sang Qadim yang an sich, karena yang
Qadim adalah absolut sedangkan ruang memiliki ujung yang satu dengan ujung yang
lainnya, dan waktu yang memiliki awal dan akhir. Semesta haruslah bersifat terbatas, sebab jika alam semesta tidak terbatas maka yang absolut akan menjadi jamak, yaitu Tuhan dan alam semesta. Jadi Tuhan tidak mungkin
bergerak, beraktifitas, dan ada dalam jagad raya yang bersifat terbatas. Dan
jika Tuhan sekonyong konyong menjadikan dirinya menjadi terbatas hanya karena
ingin mengabulkan do’a beberapa individu pilihannya secara langsung atau karena
Ia adalah Tuhan maka Ia jauh lebih parah dari pada khalifah tiran. Itu artinya
Tuhan tidak mengutuk, melaknat, dan mengabulkan do’a secara langsung, melainkan
dengan menggunakan perantara yang juga bersifat terbatas atau membalasnya di
hari nanti. Lagi pula ilmu Noetic telah mengatakan bahwa fikiran yang terfokus
pada suatu objek, fikiran tersebut akan mengeluarkan masa transparan yang
memiliki gaya tarik agar objek yang dimaksud dapat bergerak sesuai dengan
keinginan pemilik fikiran tersebut, hanya saja masa yang dikeluarkan oleh individu
tersebut terlalu kecil agar dapat merubah keadaan (semakin banyak yang
memikirkan objek yang sama, maka masa transparan yang akan dikeluarkannya pun akan
semakin besar). Apa lagi sebutan do’a kalau bukan memusatkan fikiran pada objek
yang dimaksud, meskipun pemusatan fikiran tersebut dilakukan di luar kesadaran
si pendo’a. Itu artinya yang bertindak mengabulkan do’a ialah idividu individu
itu sendiri yang diberi kemampuan oleh Tuhan untuk menjadi perantara-Nya dalam
mengabulkan do’a do’anya sendiri. Untuk membuktikan pendapat Noetic tersebut,
anda dapat mencobanya dengan melakukan metode telekinesis. Telah banyak
penjelasan tentang telekinesis di interlink, dan web web mereka pun dapat
dipercaya karena kami telah membuktikannya.
Selanjutnya, Tuhan ialah mukhalafatu lil hawaditsi, dalam artian Ia
tidak terikat oleh ruang dan waktu, jika Tuhan beraktifitas dalam jagad raya
maka apa yang membedakan antara Tuhan dengan al hadist? Bukankah ludah para
pemabuk dan cairan otak dari korban kecelakaan akan mengurangi kesuciannya?
Bukti lain bahwa deisme itu nyata
datang dari kisah pewahyuan yang diterima oleh nabiullah Muhammad SAW. Telah
akrab di telinga kita bahwa yang membawa wahyu dari esensi Tuhan menuju hati
dan fikiran Muhammad SAW ialah sesosok malaikat yang menamakan dirinya sebagai
Jibril. Timbul satu pertanyaan dalam benak kami, “kenapa Tuhan tidak mewahyukan
firmannya secara langsung dari esensinya menuju fikiran Muhammad SAW?”
Pewahyuan ini adalah sebuah petunjuk penting dan bukti bahwa untuk makhluk yang
paling dikasihinya sekalipun Tuhan tidak akan menjadikan dirinya menjadi
terbatas. Maksud kami, kisah pewahyuan tersebut merupakan petunjuk sekaligus bukti
bahwa untuk berkomunikasi dan beraktifitas dengan al hadist yang bersifat
terbatas maka Tuhan akan menggunakan perantaranya yang bersifat terbatas pula
untuk menyampaikan maksud dan tujuan Tuhan. Musa bahkan lebih parah lagi, ia
berusaha menampung sedikit tanda tanda dari eksistensi Tuhan seorang diri
dengan cara menatapnya (menampung eksistensi objek memalui penglihatan). Dan hasilnya pun dapat anda ketahui. Ia hampir mati
karena telah melihat sedikit cahaya Tuhan yang barada di luar kapasitasnya.
Deisme pun memiliki keunggulan, yakni tidak mudah menyalahkan Tuhan
dan takdir karena memberi cobaan ini atau cobaan itu (gabungan antara determinism dan
posibilism/dengan beberapa penggalan tentunya), karena memang Tuhan tidak terlibat dengan aktifitas manusia secara
langsung. Tuhan hanya menciptakan jagad raya dan menyediakan segalanya dalam
jagad raya untuk kepentingan dan kelangsungan hidup para makhluk, menciptakan
yang benar dan yang salah, agar yang salah dapat menjadi cobaan untuk tetap
istiqomah di jalan Allah atau berbalik memungkiri dan menyekutukan-Nya. Jadi, pihak
yang salah adalah si ini atau si itu, bukan Tuhan secara langsung (transenden).
Dalam deisme pun, Tuhan tidak menyelamatkan, Tuhan hanya menyediakan
penyelamatan yang menjadikan Dirinya sebagai penyelamat secara tidak langsung.
Namun, deisme pun tidak luput dari kekurangan yakni, Tuhan yang dipahami
seorang deis akan terlampau jauh untuk diakses atau diimanenkan sehingga
seorang deis akan sulit untuk mendekatkan diri dengan Tuhan. Dan, seorang deis
akan menyadari bahwa dirinya hanya seorang diri dalam realitas, layaknya debu
dalam padang pasir atau buih dalam lautan. Tidak seperti pemahaman mayoritas di
mana mereka baranggapan bahwa kami bersama ini atau kami bersama itu. Padahal
itu semua hanya anggapan semu untuk menghibur dirinya sendiri dan menganggap
bahwa dirinya tidak seorang diri dalam realitas (bukankah di akhirat kelak kita
akan sorang diri?), meskipun Tuhan telah mengatakan bahwa Diri-Nya lebih dekat
dari urat leher. Tuhan tidak berbohong tentang itu, melainkan pernyataan
tersebut merupakan paradoks yang harus dipecahkan oleh para teolog. Semua
definisi Tuhan dan perintahnya yang tertera dalam wahyu dan syari'at hanya
berusaha untuk menciptakan insan ideal atau insanul kamil (pribadi yang sesuai
dengan keinginan Tuhan) yang merupakan insan insan yang mendapat keselamatan
karena mengikuti pentunjuk dari Tuhan, jadi Tuhan berusaha turun tangan untuk
membentuk akhlaq dan kepribadian setiap individu sekaligus menyelamatkan umat
manusia dari hal hal yang tidak diinginkannya. Dan, untuk melampaui insan insan
tersebut sumber pengetahuan harus diperluas, dari Al-Qur’an dan hadist (sumber
pokok/basic) menuju keseluruhan realitas, baik empiris maupun rasionalis, dari buku
maupun kitab kitab yang lain, karena Al-Qu’an dan hadist bukan satu satunya
sumber pengetahuan meskipun mereka berdua merupakan sumber sumber pokok yang
harus tetap dipegang teguh.
Rabu, 18 April 2018
Teologi Negative
Sebelum memulai diskusi kita kali ini perlu diingat oleh para
pembaca bahwa eksistensi Tuhan yang an sich adalah mutlak (tetap), absolut,
tanpa batas, tanpa akhir (Ein Sof), dan misteri abadi, atau dapat dirangkum
menjadi satu kata yakni negative (peniadaan/tidak dapat di-ada-kan). Dan, jika
kalian mendapati seseorang yang mengatakan bahwa Tuhan adalah ini atau Tuhan
adalah itu, Tuhan itu begini ataupun Tuhan itu begitu, percayalah bahwa orang
yang mengatakan demikian telah keliru dalam memahami Tuhan yang memiliki sifat negative
yang tak terlukiskan oleh kata – kata dan melampaui batas – batas sang mawjud
itu sendiri yang relative (tidak tetap dan selalu berubah) dan fana ini. Di
sini teologi negative berusaha mengatakan bahwa Tuhan adalah ada, agar teologi
negative tidak terjatuh ke dalam atheism seperti yang banyak dipahami oleh
orang awam yang berpemaham dangkal. Namun di sisi lain teologi negative juga
berusaha mengatakan bahwa Tuhan adalah tiada, agar teologi negative tidak
menjatuhkan Tuhan ke dalam terma, wacana, diskusi, rekonstruksi, konsep,
perdebatan, dll (terma, wacana, diskusi, rekonstruksi, konsep, perdebatan identik dengan lisan dan gambaran, dan lisan atau gambaran yang dimiliki oleh mawjud identik dengan keterbatasan dan ketidak sanggupan. Sebagai contoh, dapatkah anda memikirkan seorang diri tentang segala hal yang dibutuhkan bumi, tatanan, pemerintahan, manusia dan makhluk lain tanpa lelah dan sedikitpun kesalahan atau kecacatan pada ide ide anda? Atau dapatkah anda merasionalisasi para makhluk gaib? Jadi Tuhan
adalah ada sekaligus tidak ada dalam waktu yang bersamaan. Jika Tuhan yang
bersifat tidak terbatas masuk ke dalam wacana dan diskursus apapun yang
bersifat terbatas maka terbatas pula Tuhan itu sendiri, dan itu adalah
mustahil. Tuhan adalah tiada, tiada di sini atau tiada di situ, karena Tuhan
adalah misteri abadi yang tidak dapat diketahui keberadaannya oleh siapapun,
sebab tahu berarti siap memasukkan Tuhan kedalam rekonstruksi apapun yang
bersifat terbatas. Jadi, sikap yang tepat untuk melukiskan Tuhan yang
sebenarnya (an sich) adalah dengan diam, karena dengan diam siapa pun tidak
memasukkan Tuhan ke dalam term apapun. Tuhan, Tuhan, danTuhan, Ia adalah misteri
abadi, karena mawjud (terbatas) mana yang dapat menampung eksistensi Tuhan yang
bersifat tidak terbatas seorang diri, jika sang mawjud berusaha melihat
(menampung dalam fikirannya melalui penglihatan) eksistensi Tuhan yang bersifat tanpa batas maka
dapat disimpulkan mawjud tersebut akan membunyikan lonceng kematian untuk
dirinya sendiri, dan itu adalah rasa yang sama yang pernah dirasakan oleh Musa
yang berusaha melihat Tuhan di gunung Thursina (Sinai). Singkatnya, kapasitas
yang dimiliki oleh makhluk tidak akan sanggup menampung eksistensi Tuhan yang
berada di luar kapasitasnya “Hasrat menginginkan kepenuhan, namun semakin ia
menginginkan kepenuhan, ia tidak dapat mencapai yang diinginkannya”. Teologi negative
ini dapat disebut juga sebagai teologi apofatik, dan teologi apofatik lebih
unggul beberapa langkah dari pada lawannya yakni teologi katafatik. Jadi, jika
teologi negative (apofatik) lebih unggul dari pada teologi katafatik lalu
mengapa Tuhan memilih untuk mem-positif-kan (meng-ada-kan) Dirinya dalam wahyu?
Karena Tuhan yang selalu dipahami secara negative akan terlampau jauh dan sulit
untuk didekati ataupun diakses oleh para makhluk, Tuhan mem-positif-kan Diri-Nya
agar setiap hamba dapat merasa dekat dan nyaman berada di bawah naungan-Nya
(imanen) tanpa harus melupakan tanzih terhadap-Nya.
Langganan:
Postingan (Atom)