Sebelum memulai diskusi kita kali ini perlu diingat oleh para
pembaca bahwa eksistensi Tuhan yang an sich adalah mutlak (tetap), absolut,
tanpa batas, tanpa akhir (Ein Sof), dan misteri abadi, atau dapat dirangkum
menjadi satu kata yakni negative (peniadaan/tidak dapat di-ada-kan). Dan, jika
kalian mendapati seseorang yang mengatakan bahwa Tuhan adalah ini atau Tuhan
adalah itu, Tuhan itu begini ataupun Tuhan itu begitu, percayalah bahwa orang
yang mengatakan demikian telah keliru dalam memahami Tuhan yang memiliki sifat negative
yang tak terlukiskan oleh kata – kata dan melampaui batas – batas sang mawjud
itu sendiri yang relative (tidak tetap dan selalu berubah) dan fana ini. Di
sini teologi negative berusaha mengatakan bahwa Tuhan adalah ada, agar teologi
negative tidak terjatuh ke dalam atheism seperti yang banyak dipahami oleh
orang awam yang berpemaham dangkal. Namun di sisi lain teologi negative juga
berusaha mengatakan bahwa Tuhan adalah tiada, agar teologi negative tidak
menjatuhkan Tuhan ke dalam terma, wacana, diskusi, rekonstruksi, konsep,
perdebatan, dll (terma, wacana, diskusi, rekonstruksi, konsep, perdebatan identik dengan lisan dan gambaran, dan lisan atau gambaran yang dimiliki oleh mawjud identik dengan keterbatasan dan ketidak sanggupan. Sebagai contoh, dapatkah anda memikirkan seorang diri tentang segala hal yang dibutuhkan bumi, tatanan, pemerintahan, manusia dan makhluk lain tanpa lelah dan sedikitpun kesalahan atau kecacatan pada ide ide anda? Atau dapatkah anda merasionalisasi para makhluk gaib? Jadi Tuhan
adalah ada sekaligus tidak ada dalam waktu yang bersamaan. Jika Tuhan yang
bersifat tidak terbatas masuk ke dalam wacana dan diskursus apapun yang
bersifat terbatas maka terbatas pula Tuhan itu sendiri, dan itu adalah
mustahil. Tuhan adalah tiada, tiada di sini atau tiada di situ, karena Tuhan
adalah misteri abadi yang tidak dapat diketahui keberadaannya oleh siapapun,
sebab tahu berarti siap memasukkan Tuhan kedalam rekonstruksi apapun yang
bersifat terbatas. Jadi, sikap yang tepat untuk melukiskan Tuhan yang
sebenarnya (an sich) adalah dengan diam, karena dengan diam siapa pun tidak
memasukkan Tuhan ke dalam term apapun. Tuhan, Tuhan, danTuhan, Ia adalah misteri
abadi, karena mawjud (terbatas) mana yang dapat menampung eksistensi Tuhan yang
bersifat tidak terbatas seorang diri, jika sang mawjud berusaha melihat
(menampung dalam fikirannya melalui penglihatan) eksistensi Tuhan yang bersifat tanpa batas maka
dapat disimpulkan mawjud tersebut akan membunyikan lonceng kematian untuk
dirinya sendiri, dan itu adalah rasa yang sama yang pernah dirasakan oleh Musa
yang berusaha melihat Tuhan di gunung Thursina (Sinai). Singkatnya, kapasitas
yang dimiliki oleh makhluk tidak akan sanggup menampung eksistensi Tuhan yang
berada di luar kapasitasnya “Hasrat menginginkan kepenuhan, namun semakin ia
menginginkan kepenuhan, ia tidak dapat mencapai yang diinginkannya”. Teologi negative
ini dapat disebut juga sebagai teologi apofatik, dan teologi apofatik lebih
unggul beberapa langkah dari pada lawannya yakni teologi katafatik. Jadi, jika
teologi negative (apofatik) lebih unggul dari pada teologi katafatik lalu
mengapa Tuhan memilih untuk mem-positif-kan (meng-ada-kan) Dirinya dalam wahyu?
Karena Tuhan yang selalu dipahami secara negative akan terlampau jauh dan sulit
untuk didekati ataupun diakses oleh para makhluk, Tuhan mem-positif-kan Diri-Nya
agar setiap hamba dapat merasa dekat dan nyaman berada di bawah naungan-Nya
(imanen) tanpa harus melupakan tanzih terhadap-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar