Hans zimer

Free Music Sites
Free Music Online

free music at soundcloud

Rabu, 18 April 2018

Teologi Negative

Sebelum memulai diskusi kita kali ini perlu diingat oleh para pembaca bahwa eksistensi Tuhan yang an sich adalah mutlak (tetap), absolut, tanpa batas, tanpa akhir (Ein Sof), dan misteri abadi, atau dapat dirangkum menjadi satu kata yakni negative (peniadaan/tidak dapat di-ada-kan). Dan, jika kalian mendapati seseorang yang mengatakan bahwa Tuhan adalah ini atau Tuhan adalah itu, Tuhan itu begini ataupun Tuhan itu begitu, percayalah bahwa orang yang mengatakan demikian telah keliru dalam memahami Tuhan yang memiliki sifat negative yang tak terlukiskan oleh kata – kata dan melampaui batas – batas sang mawjud itu sendiri yang relative (tidak tetap dan selalu berubah) dan fana ini. Di sini teologi negative berusaha mengatakan bahwa Tuhan adalah ada, agar teologi negative tidak terjatuh ke dalam atheism seperti yang banyak dipahami oleh orang awam yang berpemaham dangkal. Namun di sisi lain teologi negative juga berusaha mengatakan bahwa Tuhan adalah tiada, agar teologi negative tidak menjatuhkan Tuhan ke dalam terma, wacana, diskusi, rekonstruksi, konsep, perdebatan, dll (terma, wacana, diskusi, rekonstruksi, konsep, perdebatan identik dengan lisan dan gambaran, dan lisan atau gambaran yang dimiliki oleh mawjud identik dengan keterbatasan dan ketidak sanggupan. Sebagai contoh, dapatkah anda memikirkan seorang diri tentang segala hal yang dibutuhkan bumi, tatanan, pemerintahan, manusia dan makhluk lain tanpa lelah dan sedikitpun kesalahan atau kecacatan pada ide ide anda? Atau dapatkah anda merasionalisasi para makhluk gaib? Jadi Tuhan adalah ada sekaligus tidak ada dalam waktu yang bersamaan. Jika Tuhan yang bersifat tidak terbatas masuk ke dalam wacana dan diskursus apapun yang bersifat terbatas maka terbatas pula Tuhan itu sendiri, dan itu adalah mustahil. Tuhan adalah tiada, tiada di sini atau tiada di situ, karena Tuhan adalah misteri abadi yang tidak dapat diketahui keberadaannya oleh siapapun, sebab tahu berarti siap memasukkan Tuhan kedalam rekonstruksi apapun yang bersifat terbatas. Jadi, sikap yang tepat untuk melukiskan Tuhan yang sebenarnya (an sich) adalah dengan diam, karena dengan diam siapa pun tidak memasukkan Tuhan ke dalam term apapun. Tuhan, Tuhan, danTuhan, Ia adalah misteri abadi, karena mawjud (terbatas) mana yang dapat menampung eksistensi Tuhan yang bersifat tidak terbatas seorang diri, jika sang mawjud berusaha melihat (menampung dalam fikirannya melalui penglihatan) eksistensi Tuhan yang bersifat tanpa batas maka dapat disimpulkan mawjud tersebut akan membunyikan lonceng kematian untuk dirinya sendiri, dan itu adalah rasa yang sama yang pernah dirasakan oleh Musa yang berusaha melihat Tuhan di gunung Thursina (Sinai). Singkatnya, kapasitas yang dimiliki oleh makhluk tidak akan sanggup menampung eksistensi Tuhan yang berada di luar kapasitasnya “Hasrat menginginkan kepenuhan, namun semakin ia menginginkan kepenuhan, ia tidak dapat mencapai yang diinginkannya”. Teologi negative ini dapat disebut juga sebagai teologi apofatik, dan teologi apofatik lebih unggul beberapa langkah dari pada lawannya yakni teologi katafatik. Jadi, jika teologi negative (apofatik) lebih unggul dari pada teologi katafatik lalu mengapa Tuhan memilih untuk mem-positif-kan (meng-ada-kan) Dirinya dalam wahyu? Karena Tuhan yang selalu dipahami secara negative akan terlampau jauh dan sulit untuk didekati ataupun diakses oleh para makhluk, Tuhan mem-positif-kan Diri-Nya agar setiap hamba dapat merasa dekat dan nyaman berada di bawah naungan-Nya (imanen) tanpa harus melupakan tanzih terhadap-Nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar