Adalah jiwa manusia di mana nalarnya seperti Dewa dan tempat tinggalnya adalah tubuh manusia, orang yang tidak mengenal jiwanya tidak bisa mengambil manfaat dari nalar dan tubuhnya, tetapi orang yang memiliki ilmu jiwa akan memiliki hidup yang bahagia dan penuh rahmat.
Rabu, 23 Juni 2021
Metafisika Keadilan
Hadirnya kesadaran akan ada-Nya ada-pencipta menimbulkan kuiditas yang merupakan pintu pintu hikmah yang dapat kita nikmati melalui tulisan ini, yang diantaranya: Memberikan sifat sifat wajib dan sifat mustahil akan-Nya. Jika ada-ciptaan telah menemukan dan membuktikan ada-Nya ada-pencipta, maka tahap selanjutnya adalah menetapkan sifat sifat wajib dan mustahil akan eksistensi-Nya yang merupakan konsekuensi real akan keber-ada-an-Nya dan keber-ada-an apa pun dan siapa pun yang tampak pada fenomena realitas. Seorang ayah tidak mungkin membunuh anaknya yang masih kecil terutama tanpa sebab musabab yang jelas, dan ada-pencipta pun tidak mungkin menghukum siapa pun tanpa sebab musabab yang jelas pula. Kehadiran ada-pencipta mengisyaratkan ada-Nya beberapa sifat, karena realitas menuntut ada-Nya definisi. Seperti sifat wajib pada fenomena air, karena ia ada dan menjadi bagian dalam realitas maka ada-ciptaan dapat memberikan aksiden kepadanya, seperti; jika di sentuh maka instrumen kita akan menjadi basah, jika di wadahi dan wadahnya diangkat maka ia memiliki berat, jika air tersebut menempati ruang yang terbuka maka ia dapat membuatnya menjadi penuh jika volumenya cukup. Jika berada pada suhu yang dingin air tersebut dapat menjadi keras karena membeku. Jika mendapat panas berlebih maka ia akan mengering dan menghilang. Sementara sifat mustahilnya adalah; tidak memiliki instrumen yang cukup untuk melakukan tugas kemakhlukkan, air tentu tidak dapat mengelak jika ia direbus atau dipanaskan hingga mengering, karena ia merupakan hyle mati.
Singkatnya, jika ada-pencipta telah terbukti sebagaimana ada-Nya, maka balasan akan setiap perbuatan pula pasti nyata dan benar ada-Nya, karena ada-pencipta merupakan bagian dari realitas maka Ia pun memiliki sifat, dan beberapa sifat-Nya antara lain; cinta dan kasih sayang yang maha luas (Arrahman, Arrahim) namun tetap adil dan tegas karena kuasa-Nya yang melahirkan sifat kehendak, bukan diam pasif maupun diam aktif. Karena sejak kapan diam-Nya ada-pencipta menjadi sebuah keunggulan? Kita tidak bisa menerima seorang pencuri berkeliaran bebas sementara kita hanya diam saja. Karena kasih sayang-Nya, Dia hadir bersama ada-ciptaan yang shaleh.
Dia adalah perbendaharaan yang tersembunyi, jika ada-ciptaan ingin mengetahui-Nya maka ia harus memberdayakan instrumennya dan meneguk segala macam manis-Nya pengetahuan akan-Nya. Atau mungkin ada-pencipta memiliki kehendak lain dengan memperkenalkan diri-Nya tanpa melalui instrumen yang terlatih. maujud juga menerima bahwa ada-pencipta memiliki sifat tanpa batas (Ein Sof) . Karena sifat tersebut merupakan keunggulan yang wajib dimiliki oleh ada-pencipta yang adi-kodrati. Karena keber-ada-an-Nya yang merupakan tanpa batas, maka Ia meliputi segala-Nya, baik alam dunia maupun alam malakut, di surga maupun di neraka, di sini atau di situ, namun Ia bukanlah ini dan itu. karena kemanapun kau berpaling di sanalah terdapat wajah-Nya.
Selasa, 14 Januari 2020
Tiga Pintu Hikmah Dan Tanggapan Terhadap Atheisme
Baik, langsung saja. Dari
pengamatan terhadap alam kita dapat membuka beberapa pintu hikmah yang
tersembunyi yang dapat dibuka dengan akal, baik nalar maupun akal budi, indra
dan hati. Dikatakan tersembunyi karena seringnya pintu-pintu hikmah tersebut
luput dari kesadaran maujud atau kerumitan maujud itu sendiri untuk
mengabstraksi setiap fenomena. Pintu hikmah yang pertama; bahwasanya pada
setiap fenomena realitas terdapat gradasi, baik dalam ekosistem atau pun
kehidupan dan aktifitas sehari-hari maujud itu sendiri, yang bertumpuk-tumpuk
yang bahkan dapat ditemui pada serial televisi. Contoh: setelah angka satu maka
angka yang lebih unggul selanjutnya adalah angka dua. Jika Sadra memiliki uang
sebanyak satu juta, bukankah dua juta akan lebih baik? (dalam hal ini bukan
berarti; jika satu wujud itu baik, bukankah dua wujud akan lebih baik? Karena
ini tidak masuk akal. Wujud adalah pemenang tunggal yang tiada tanding). Contoh
selanjutnya datang dari bayi, bayi itu tidaksama dengan anak SMA karena faktor
fisik, pengetahuan, pengalaman, kedewasaan, dan juga kehidupan sang bayi pun
baru saja dimulai. Demikian pula orang dewasa yang berbeda dengan anak SMA
karena faktor serupa dan juga ruang lingkupnya dipenuhi oleh tanggung jawab.
Orang parlemen berbeda dengan pengamen karena pengetahuan yang dimilikinya.
Singa berbeda dengan zebra karena naluri yang dimilikinya. Dan manusia berbeda
dengan monyet karena instrument yang digunakannya. Manusia didominasi dengan
akal, indra dan hati yang siap membimbingnya ke arah yang progresif, sedangkan
monyet didominasi oleh naluri. Maujud tidak dapat menciptakan hyle dan hanya
bisa pasrah ketika ia telah sakaratul maut. Ia hanya dapat menangkap, mengolah
apa yang telah tampak dan mempelajarinya. Itu artinya maujud telah menunjukkan
setidaknya dua ketidaksanggupannya dalam hal kehendak. Maujud tidak sanggup
menciptakan langit beserta gemerlap bintang dan planet-planetnya, sedangkan
lagit ada bukan karena ada dengan sendirinya atau pun qadim, sebab langit pun
terdiri dari susunan debu dan partikel yang memiliki gaya tarik semacam
grafitasi yang berkumpul dan menggumpal hingga mendapatkan bentuk seperti yang
kita lihat sekarang ini. Pertanyaan penting dalam paragraph ini ialah; siapa yang menyelenggarakan langit beserta
isinya tersebut?Kebetulan atau ada dengan sendirinya adalah jawaban yang
remeh melihat hasil terjadinya yang begitu menakjubkan. Adanya alam semesta
pastilah adanya unsur kesengajaan. Sedangkan dalil gradasi mengisyaratkan
adanya sesuatu yang melampaui maujud yang dapat menciptakan apa yang tidak
dapat diciptakan oleh maujud dimana makhluk yang paling cerdas ibarat seekor
monyet yang dibandingkan dengan manusia, dimana kecacatannya tampak begitu
jelas jika membandingkan makhluk terbaik dengan suatu gradasi puncak di atas
maujud.
Gradasi
puncak inilah yang diyakini telah meng-ada-kan alam dan menyelenggarakan
kehidupan. Semesta pastilah memiliki batas. Karena jika alam semesta memiliki
sifat tanpa batas maka yang tanpa batas menjadi jamak, wujud dan alam. Ini
merupakan suatu kemustahilan mengingat wujud tidak memerlukan tandingan, karena
ia adalah adikodrati dengan gradasi paling awal. Karena alam semesta memiliki
batas itu artinya alam semesta adalah fana dan tidak selalu ada.
Dengan
ketidakunggulan maujud, pembaca dapat menangkap isyarat keberadaan sesuatu pada
gradasi puncak yang mandiri dan mampu, yang tidak merasakan sakit dan hanya
memiliki keunggulan dan tidak memiliki keterbatasan yang menyebabkan ia selalu
ada. Inilah hasil analogi dari gradasi alam kepada kehidupan yang berakhir
dengan wujud niscaya yang adikodrati. Dan itu pula yang dinamakan dengan
kesadaran berketuhanan. Sadar akan adanya gradasi pada setiap langit yang
berakhir pada ‘prima causa’, Penyebab dari semua penyebab. Alam tidak mungkin
ada karena kebetulan, sebab tinta yang tanpa sengaja tertumpah takkan pernah
menjadi puisi.
Dan
juga tidaklah mungkin sekiranya alam menciptakan dirinya sendiri, sebab
kehendak hanya dimiliki oleh sesuatu yang berakal. Sedangkan alam tidaklah
berakal sehingga tidak memiliki kehendak. Wujud diidentikkan dengan akal karena
segala hal yang disifati dengan akal adalah kemuliaan. Bayangkan dengan flora
dan fauna yang tidak memiliki akal dan hanya menuruti nalurinya sendiri, tentu
keduanya tidak akan sanggup membangun sebuah peradaban, melainkan alam liar
dimana hukum rimbalah yang berkuasa. Jika alam semesta menciptakan dirinya
sendiri, itu artinya alam semesta yang didominasi oleh hyle mati memiliki
kehendak. Lalu kenapa tidak, setelah menciptakan dirinya sendiri, planet pluto
sebagai planet yang tersedia di jagad raya dan bagian dari alam mengerjakan
tugas kelompok bersama planet yang ia cintai? Atau mengapa batu tidak dapat
berjalan ke masjid dan menunaikan kewajibannya? Kenapa patty tidak dapat
menggoreng dirinya sendiri? Bukankah alam memiliki kehendak? Jikalau
alam menciptakan dirinya sendiri yang begitu hebat dan mengerikan, lantas apa
gerangan yang menyebabkan atheis tidak menyembah alam? Bukankah alam itu
adikodrati dengan gradasi di atas maujud, yang dapat menciptakan apa yang tidak
dapat diciptakan oleh maujud? Jika alam mampu menciptakan dirinya sendiri dan
tidak membutuhkan ritual penyembahan , bukankah dapat dikatakan bahwa ciptaan
tidak tahu diri dan tidak tahu balas budi? Bayangkan, sesosok maujud telah
di-ada-kan, ia dapat merasakan kelezatan makanan, merasakan nikmatnya rasa
kenyang setelah sebelumnya merasakan kelaparan, merasakan segarnya segelas air
putih di tengah keletihan, merasakan indahnya mencintai walau nasib kisahnya
tidak seberuntung yang lain. Meski ada terkadang terasa mengecewakan, menyebalkan, dan berat,
akan tetapi dengan ke-ada-an ini maujud dapat menjadi lebih bijak dan dewasa
dalam menyikapi suatu fenomena. Di manakah putih jika tanpa hitam? Di manakah
letak kedamaian jika tanpa kerusuhan? Seseorang menjadi buruk karena seseorang
ada yang menjadi baik. Seseorang menjadi pintar karena seseorang yang lain ada
yang menjadi bodoh. Makhluk terlahir dengan aksiden dualisnya, atau bahkan
lebih. Memang ada adalah kesempatan untuk mandapatkan nikmat yang hakiki di
tempat lain nanti, yang tidak akan pernah siapa pun rasakan jika ia tidak ada.
Itulah alasan mengapa banyak orang mengatakan bahwa hidup adalah anugrah.
Karena ada adalah kenikmatan.
Sedangkan
yang ke dua adalah tentang waktu. Waktu adalah hasil pengematan makhluk
terhadap alam. Sedangkan alam ada lebih dahulu ketimbang maujud yang membuat
gagasan tentang waktu tersebut. Waktu adalah hasil fenomena alam yang
berpangkal kepada gerak. Karena alam terus menerus bergerak hingga berevolusi
yang berpuncak pada maujud yang berakal, maka ia diikat oleh maujuddengan
waktu. Inilah kuiditas-Nya. Dan jika wujud mengandung unsur gerak, maka
pergerakan-Nya dapat diukur oleh waktu, seperti: sejak kapan? Sampai di mana?
Dan sedang apa? Jika pertanyaan ini dijawab maka dapat dikatakan bahwa wujud
tidaklah mutlak melainkan tumbuh dan berkembang dalam dan bersama waktu. Jadi
wujud adalah diam aktif yang tinggal di dalam dirinya sendiri. Jika ditelisik
melalui sudut pandang metafisika, biogenesis merupakan kenyataan yang konkret,
karena substansi kehidupan berasal dari sesuatu yang telah ada; yakni ada dalam
ide wujud yang menjadikannya maujud-maujud yang potensial menjadi aktual. Namun
jika aspek metafisika tidak dilibatkan dalam diskursus tersebut maka terma
kisah penciptaan jatuh ke dalam creation
ex nihilo penciptaan dari ketiadaan. Inilah sisi letak kekeliruan filsafat
Herakleitus, karena dalilnya tidak dapat diterapkan dalam konsep ketuhanan. Ia
hanya dapat diterapkan pada pasca penciptaan itu terjadi.
Ketiga;
20 sifat wujud dan juga 99 asma-Nya merupakan atribut yang maujud kenakan
kepada wujud akibat emanasi pancaran kasih sayang-Nya. Seperti; kita melihat
batu di toko material atau di pinggir jalan dimana jumlah batu lebih dari satu,
inilah kuantitasnya. Lalu setelah ditekan ternyata batu tersebut memiliki sifat
keras, jika diangkat ternyata batu tersebut memiliki berat, jika diperhatikan
batu tersebut memiliki warna, jika diketuk batu tersebut memiliki bunyi, dan
jika dipertimbangkan batu tersebut memiliki fungsi yakni untuk membangun sebuah
tanggul atau jalan beraspal misalnya. Inilah aksiden-aksiden yang melekat pada
esensi ada-nya batu. Sama halnya dengan wujud. Kita telah mendapati konteks
bahwa wujud merupakan adikodrati, dengan bermodalkan logika kepastian, kita
dapat menyematkan sifat-sifat wajib (pasti) dan sifat mustahil bagi-Nya, karena
segala aktifitas wujud adalah mulia. 20 sifat wujud dan 99 asma-Nya berusaha
mengatakan secara tersirat bahwa sang wujud benar-benar serius dengan aksiden
dan kuiditas adikodrati-Nya. Jadi wajar jika ada kontradiksi di dalamnya,
karena ketidak unggulan maujud itu sendiri yang memberi aksiden kepada-Nya yang
merupakan emanasi dari pada-Nya. Andai wujud tidak meng-ada-kan atau mengaktualkan
maujud maka maujud pun tidak akan memberikan aksiden kepada-Nya, karena yang
berakal hanya dia seorang. Di sini penulis berusaha mengajak para pembaca untuk
memisahkan antara prinsip dengan manifestasi, substansi dan aksiden, dan air
laut dengan garamnya agar dapat memisahkan antara yang kekal dan yang
sementara.
Senin, 30 April 2018
Deisme
Baik. Kita mulai. Tuhan
menitipkan makhluk kepada jagad raya karena jagad raya tercipta dengan
citra-Nya. Jika kita mendapati seorang pematung yang professional, pastinya ia
akan membuat patung yang baik dan menawan karena patung tersebut tercipta oleh
sang “professional”. Jika sang “professional” dapat membuat patung yang indah
karena “ke-profesionalan-nya”, terlebih Tuhan yang melampaui kata
“ke-profesionalan” tersebut, yang menjadikan jagad raya menjadi mandiri dalam
artian Tuhan melampaui kata ke-mandirian tersebut, yang tidak terlukiskan oleh
kata kata atau oleh apapun. Selain itu eksistensi sang Qadim yang an sich ialah
terbebas dari seluruh rantai batasan, sedangkan al hadist (jagad raya) adalah
terbatas dengan segala kekurangan dan ketergantungannya, karena tanpa Tuhan Semesta bukanlah apa apa, atau bahkan tiada. Jadi jika yang Qadim
memanifestasikan eksistensinya ke dalam jagad raya, maka kapasitas jagad raya
tidak akan sanggup menampung enksistensi sang Qadim yang an sich, karena yang
Qadim adalah absolut sedangkan ruang memiliki ujung yang satu dengan ujung yang
lainnya, dan waktu yang memiliki awal dan akhir. Semesta haruslah bersifat terbatas, sebab jika alam semesta tidak terbatas maka yang absolut akan menjadi jamak, yaitu Tuhan dan alam semesta. Jadi Tuhan tidak mungkin
bergerak, beraktifitas, dan ada dalam jagad raya yang bersifat terbatas. Dan
jika Tuhan sekonyong konyong menjadikan dirinya menjadi terbatas hanya karena
ingin mengabulkan do’a beberapa individu pilihannya secara langsung atau karena
Ia adalah Tuhan maka Ia jauh lebih parah dari pada khalifah tiran. Itu artinya
Tuhan tidak mengutuk, melaknat, dan mengabulkan do’a secara langsung, melainkan
dengan menggunakan perantara yang juga bersifat terbatas atau membalasnya di
hari nanti. Lagi pula ilmu Noetic telah mengatakan bahwa fikiran yang terfokus
pada suatu objek, fikiran tersebut akan mengeluarkan masa transparan yang
memiliki gaya tarik agar objek yang dimaksud dapat bergerak sesuai dengan
keinginan pemilik fikiran tersebut, hanya saja masa yang dikeluarkan oleh individu
tersebut terlalu kecil agar dapat merubah keadaan (semakin banyak yang
memikirkan objek yang sama, maka masa transparan yang akan dikeluarkannya pun akan
semakin besar). Apa lagi sebutan do’a kalau bukan memusatkan fikiran pada objek
yang dimaksud, meskipun pemusatan fikiran tersebut dilakukan di luar kesadaran
si pendo’a. Itu artinya yang bertindak mengabulkan do’a ialah idividu individu
itu sendiri yang diberi kemampuan oleh Tuhan untuk menjadi perantara-Nya dalam
mengabulkan do’a do’anya sendiri. Untuk membuktikan pendapat Noetic tersebut,
anda dapat mencobanya dengan melakukan metode telekinesis. Telah banyak
penjelasan tentang telekinesis di interlink, dan web web mereka pun dapat
dipercaya karena kami telah membuktikannya.
Selanjutnya, Tuhan ialah mukhalafatu lil hawaditsi, dalam artian Ia
tidak terikat oleh ruang dan waktu, jika Tuhan beraktifitas dalam jagad raya
maka apa yang membedakan antara Tuhan dengan al hadist? Bukankah ludah para
pemabuk dan cairan otak dari korban kecelakaan akan mengurangi kesuciannya?
Bukti lain bahwa deisme itu nyata
datang dari kisah pewahyuan yang diterima oleh nabiullah Muhammad SAW. Telah
akrab di telinga kita bahwa yang membawa wahyu dari esensi Tuhan menuju hati
dan fikiran Muhammad SAW ialah sesosok malaikat yang menamakan dirinya sebagai
Jibril. Timbul satu pertanyaan dalam benak kami, “kenapa Tuhan tidak mewahyukan
firmannya secara langsung dari esensinya menuju fikiran Muhammad SAW?”
Pewahyuan ini adalah sebuah petunjuk penting dan bukti bahwa untuk makhluk yang
paling dikasihinya sekalipun Tuhan tidak akan menjadikan dirinya menjadi
terbatas. Maksud kami, kisah pewahyuan tersebut merupakan petunjuk sekaligus bukti
bahwa untuk berkomunikasi dan beraktifitas dengan al hadist yang bersifat
terbatas maka Tuhan akan menggunakan perantaranya yang bersifat terbatas pula
untuk menyampaikan maksud dan tujuan Tuhan. Musa bahkan lebih parah lagi, ia
berusaha menampung sedikit tanda tanda dari eksistensi Tuhan seorang diri
dengan cara menatapnya (menampung eksistensi objek memalui penglihatan). Dan hasilnya pun dapat anda ketahui. Ia hampir mati
karena telah melihat sedikit cahaya Tuhan yang barada di luar kapasitasnya.
Deisme pun memiliki keunggulan, yakni tidak mudah menyalahkan Tuhan
dan takdir karena memberi cobaan ini atau cobaan itu (gabungan antara determinism dan
posibilism/dengan beberapa penggalan tentunya), karena memang Tuhan tidak terlibat dengan aktifitas manusia secara
langsung. Tuhan hanya menciptakan jagad raya dan menyediakan segalanya dalam
jagad raya untuk kepentingan dan kelangsungan hidup para makhluk, menciptakan
yang benar dan yang salah, agar yang salah dapat menjadi cobaan untuk tetap
istiqomah di jalan Allah atau berbalik memungkiri dan menyekutukan-Nya. Jadi, pihak
yang salah adalah si ini atau si itu, bukan Tuhan secara langsung (transenden).
Dalam deisme pun, Tuhan tidak menyelamatkan, Tuhan hanya menyediakan
penyelamatan yang menjadikan Dirinya sebagai penyelamat secara tidak langsung.
Namun, deisme pun tidak luput dari kekurangan yakni, Tuhan yang dipahami
seorang deis akan terlampau jauh untuk diakses atau diimanenkan sehingga
seorang deis akan sulit untuk mendekatkan diri dengan Tuhan. Dan, seorang deis
akan menyadari bahwa dirinya hanya seorang diri dalam realitas, layaknya debu
dalam padang pasir atau buih dalam lautan. Tidak seperti pemahaman mayoritas di
mana mereka baranggapan bahwa kami bersama ini atau kami bersama itu. Padahal
itu semua hanya anggapan semu untuk menghibur dirinya sendiri dan menganggap
bahwa dirinya tidak seorang diri dalam realitas (bukankah di akhirat kelak kita
akan sorang diri?), meskipun Tuhan telah mengatakan bahwa Diri-Nya lebih dekat
dari urat leher. Tuhan tidak berbohong tentang itu, melainkan pernyataan
tersebut merupakan paradoks yang harus dipecahkan oleh para teolog. Semua
definisi Tuhan dan perintahnya yang tertera dalam wahyu dan syari'at hanya
berusaha untuk menciptakan insan ideal atau insanul kamil (pribadi yang sesuai
dengan keinginan Tuhan) yang merupakan insan insan yang mendapat keselamatan
karena mengikuti pentunjuk dari Tuhan, jadi Tuhan berusaha turun tangan untuk
membentuk akhlaq dan kepribadian setiap individu sekaligus menyelamatkan umat
manusia dari hal hal yang tidak diinginkannya. Dan, untuk melampaui insan insan
tersebut sumber pengetahuan harus diperluas, dari Al-Qur’an dan hadist (sumber
pokok/basic) menuju keseluruhan realitas, baik empiris maupun rasionalis, dari buku
maupun kitab kitab yang lain, karena Al-Qu’an dan hadist bukan satu satunya
sumber pengetahuan meskipun mereka berdua merupakan sumber sumber pokok yang
harus tetap dipegang teguh.
Rabu, 18 April 2018
Teologi Negative
Sebelum memulai diskusi kita kali ini perlu diingat oleh para
pembaca bahwa eksistensi Tuhan yang an sich adalah mutlak (tetap), absolut,
tanpa batas, tanpa akhir (Ein Sof), dan misteri abadi, atau dapat dirangkum
menjadi satu kata yakni negative (peniadaan/tidak dapat di-ada-kan). Dan, jika
kalian mendapati seseorang yang mengatakan bahwa Tuhan adalah ini atau Tuhan
adalah itu, Tuhan itu begini ataupun Tuhan itu begitu, percayalah bahwa orang
yang mengatakan demikian telah keliru dalam memahami Tuhan yang memiliki sifat negative
yang tak terlukiskan oleh kata – kata dan melampaui batas – batas sang mawjud
itu sendiri yang relative (tidak tetap dan selalu berubah) dan fana ini. Di
sini teologi negative berusaha mengatakan bahwa Tuhan adalah ada, agar teologi
negative tidak terjatuh ke dalam atheism seperti yang banyak dipahami oleh
orang awam yang berpemaham dangkal. Namun di sisi lain teologi negative juga
berusaha mengatakan bahwa Tuhan adalah tiada, agar teologi negative tidak
menjatuhkan Tuhan ke dalam terma, wacana, diskusi, rekonstruksi, konsep,
perdebatan, dll (terma, wacana, diskusi, rekonstruksi, konsep, perdebatan identik dengan lisan dan gambaran, dan lisan atau gambaran yang dimiliki oleh mawjud identik dengan keterbatasan dan ketidak sanggupan. Sebagai contoh, dapatkah anda memikirkan seorang diri tentang segala hal yang dibutuhkan bumi, tatanan, pemerintahan, manusia dan makhluk lain tanpa lelah dan sedikitpun kesalahan atau kecacatan pada ide ide anda? Atau dapatkah anda merasionalisasi para makhluk gaib? Jadi Tuhan
adalah ada sekaligus tidak ada dalam waktu yang bersamaan. Jika Tuhan yang
bersifat tidak terbatas masuk ke dalam wacana dan diskursus apapun yang
bersifat terbatas maka terbatas pula Tuhan itu sendiri, dan itu adalah
mustahil. Tuhan adalah tiada, tiada di sini atau tiada di situ, karena Tuhan
adalah misteri abadi yang tidak dapat diketahui keberadaannya oleh siapapun,
sebab tahu berarti siap memasukkan Tuhan kedalam rekonstruksi apapun yang
bersifat terbatas. Jadi, sikap yang tepat untuk melukiskan Tuhan yang
sebenarnya (an sich) adalah dengan diam, karena dengan diam siapa pun tidak
memasukkan Tuhan ke dalam term apapun. Tuhan, Tuhan, danTuhan, Ia adalah misteri
abadi, karena mawjud (terbatas) mana yang dapat menampung eksistensi Tuhan yang
bersifat tidak terbatas seorang diri, jika sang mawjud berusaha melihat
(menampung dalam fikirannya melalui penglihatan) eksistensi Tuhan yang bersifat tanpa batas maka
dapat disimpulkan mawjud tersebut akan membunyikan lonceng kematian untuk
dirinya sendiri, dan itu adalah rasa yang sama yang pernah dirasakan oleh Musa
yang berusaha melihat Tuhan di gunung Thursina (Sinai). Singkatnya, kapasitas
yang dimiliki oleh makhluk tidak akan sanggup menampung eksistensi Tuhan yang
berada di luar kapasitasnya “Hasrat menginginkan kepenuhan, namun semakin ia
menginginkan kepenuhan, ia tidak dapat mencapai yang diinginkannya”. Teologi negative
ini dapat disebut juga sebagai teologi apofatik, dan teologi apofatik lebih
unggul beberapa langkah dari pada lawannya yakni teologi katafatik. Jadi, jika
teologi negative (apofatik) lebih unggul dari pada teologi katafatik lalu
mengapa Tuhan memilih untuk mem-positif-kan (meng-ada-kan) Dirinya dalam wahyu?
Karena Tuhan yang selalu dipahami secara negative akan terlampau jauh dan sulit
untuk didekati ataupun diakses oleh para makhluk, Tuhan mem-positif-kan Diri-Nya
agar setiap hamba dapat merasa dekat dan nyaman berada di bawah naungan-Nya
(imanen) tanpa harus melupakan tanzih terhadap-Nya.
Minggu, 23 April 2017
Guide
Masih terngiang dalam fikiran kita tentang tidak sedikitnya dan
tidak jarangnya kita temui beberapa individu di Eropa dan negeri-negeri barat yang
mayoritas menganut agama Nasharan (Nasrani) namun bersikap seperti orang yang kekurangan
asupan protein, mereka berpendapat bahwa agama islam adalah agama yang identik
dengan terorisme, karena teroris di zaman modern mengaku dan menganggap
perbuatannya sebagai tindakan jihad untuk menentang golongan kapital yang
dianggap merugikan dunia islam, sebagai akibatnya islam yang mengajarkan norma
dan akhlakul karimah pun terkena getahnya akibat ulah teroris yang membawa nama
islam. Dalam menghadapi tudingan seperti itu kami berusaha untuk bertanya
kepada mereka, dan yang menjadi pertanyaan kami adalah, di mana letaknya
kearifan nasrani Eropa jika di telisik dari sejarahnya? Di manakah umat nasrani
ketika terjadi pembantaian masal di Jerusalem dalam perang salib? Di mana
tepatnya posisi umat nasrani Mongol ketika membumi hanguskan kota Bagdad
sebagai cahaya dunia yang menyimpan banyak khasanah ilmu pengetahuan yang dapat
dibilang mapan dan maju pada zamannya yang tidak lagi dapat diwariskan dan
dibanggakan oleh umat muslim sedunia di masa kini? Siapa yang bertanggung jawab
atas penjajahan di dunia timur dan Afrika? Dan siapa yang mengantarkan para
nasrani Eropa keluar dari zaman kegelapan menuju zaman Renaissance (pencerahan)
yang menjadikan mereka bangsa yang modern dan makmur sampai sekarang? Dan kini
sebagian nasrani Eropa dan barat mengatakan bahwa islam adalah agama pedang yang
menghendaki adanya terorisme? Apa mereka tidak memiliki cermin untuk melihat
keseluruhan moyangnya di masa lalu yang tampak seperti barbar yang haus darah (terutama orang frank)?
Memang agama nasrani tidak mengajarkan para penganutnya untuk berisikap dan
berprilaku seperti yang kami jelaskan di atas, karena dengan logika analogi kami
dapat mengethui bahwa seluruh agama jika diperhatikan dari ajarannya mereka
dapat menjadi plural yang berarti semua agama mengajarkan kebaikan, namun
pluralitas tetap tidak dapat diterapkan dan ditoleransi ketika menyinggung
tentang teoligi ketuhanan masing-masing agama. Lalu siapakah yang salah atas tragedi
dan anggapan buruk di atas? Sejauh yang kami ketahui, yang bertanggung jawab
atas permasalahan di atas adalah individu-individu itu sendiri yang tidak
memiliki pengetahuan yang cukup tentang agama lain tapi sudah mampu melepeh dan
memuntahkan anggapan-anggapan yang tidak menyeluruh yang sebenarnya tidak
diajarkan oleh agamanya, namun ada pun yang menolak dan tidak menerapkan apa
yang diajarkan oleh agamanya seperti menjajah, membantai, merampok ilmu
pengetahuan (Andalusia), dll. Apakah agama nasrani mengajarkan umatnya untuk menjajah,
membantai, dan apa pun yang berkaitan dengan intoleransi? Jawabannya tentu saja
tidak! Bahkan Yesus sendiri, seperti yang diyakini oleh orang nasrani pernah
mengajarkan “jika pipi kananmu ditampar oleh orang lain, maka berilah pipi
kirimu”. Memang di bumi bagian timur nasrani datang melalui penjajahan
sedangkan islam datang melalui perdagangan, namun sikap dan perilaku penjajah
tersebut yang menyebarkan ajaran nasrani tidak mencerminkan agamanya yang
melarang adanya penjajahan dan keserakahan, jadi, mereka yang meyakini agamanya
namun mereka pula yang melanggar ajaran-ajaran agamanya, seperti keserakahan contohnya. Tidak jarang tokoh-tokoh barat menjalani hidup yang tidak mencerminkan agamanya,
meskipun dalam islam juga memiliki orang-orang yang tidak mencerminkan
agamanya, bahkan agama Budha pun tidak lepas dari anggapan miring masyarakat ketika
terjadi pembantaian Rohingya. Jadi, dari penjelasan singkat kami ini, kami berharap
para pembaca muslim yang mengetahui sejarah kebudayaan islam mampu melihat
orang-orang yang sok tahu dari kalangan nasrani seperti di Eropa dan
negeri-negri barat yang sedang memakan umpan dan terpancing untuk menemukan
bumerangnya sendiri dalam bentuk fakta historis yang bahkan sulit untuk mereka
tangkap dan menjadi masalah dan dilemma untuk dirinya sendiri atau mungkin
bahkan membuat malu agamanya sendiri, atau dengan kata lain “senjata makan
tuan” atau “mulutmu harimaumu”, sebab buku-buku sejarah akan menampar mereka
dan membongkar kebodohan orang-orang tersebut yang dengan sengaja berusaha
menyinggung perasaan umat muslim melalui su’udzon dan fikiran negative mereka
terhadap umat muslim di mana orang-orang barat tidak bisa lari dari masa lalunya
yang identik dengan Barbar yang tidak tahu terima kasih dan balas budi dengan banyaknya orientalis yang membawa Eropa keluar dari abad kegelapan. Sebagai
seorang muslim, siapa pun anda berhak untuk bangga terhadap agamanya sendiri
karena memiliki masalalu yang indah di sana, bahkan mampu mengantarkan agama
lain untuk keluar dari masa-masa kegelapannya. Dan tugas kitalah sebagai muslim
dan muslimah untuk mengembalikan masa-masa keemasan itu untuk kembali ke
pangkuan islam yang satu dan jaya, dimana tidak ada kecurigaan dan sengketa
antara Syi’ah dan Ahlussunah, muslim dan non-muslim, di mana serigala dan kambing, domba dan rumput dapat saling hidup berdampingan dan rukun tanpa adanya sebuah pihak yang dirugikan dan bersama bertasbih kepadanya dengan caranya masing-masing.
Rabu, 08 Februari 2017
Yesus

Yesus, dalam keyakinan Nasharan ia dianggap sebagai domba Allah (agnus Dei) yang dikorbankan di tiang salib untuk menebus dosa yang diwarisi oleh adam (Original Sin) karena memakan buah terlarang (buah pengetahuan, yang membuat siapa pun yang memakannya akan memiliki pengetahuan yang sama seperti pengetahuan yang dimiliki oleh Tuhan, dan karena Adam dan Eve memakan buah ini sehingga dirinya dapat mengetahui dirinya telanjang dan dapat mati). Dosa ini lalu diturunkan ke anak cucunya dari generasi ke generasi hingga kematian Yesus di tiang salib barulah dosa itu terampuni. Karena kepatuhannya dan ketaatannya kepada Allah hingga kematiannya di tiang salib maka Allah mengangkatnya menjadi Tuhan (kata Paulus/pendapat personal, bukan argumen teologis) dan menjadi salah satu dari ketiga oknum yaitu sang anak. Perlu diperhatikan di sini bahwa pengertian anak Tuhan dalam Nasharan adalah metafora yang berarti bahwa Yesuslah orang yang paling dekat dengan Tuhan, mungkin dalam islam yang dapat dikatakan sebagai anak Tuhan tidak lain ialah nabiullah Muhammad SAW, namun islam tidak menggunakan metafora tersebut karena dapat meracuni banyak fikiran orang awam yang bersyaraf lemah dan mudah ditipu.
Bukan hanya itu, jika di dalam islam wahyu itu tertulis yang disebut
sebagai Al-Qur’an lain halnya dengan Nasharan yang menganggap bahwa Yesus
adalah firman yang hidup dan firman yang mendaging, itu artinya pengertian
firman menurut Nasrani adalah tidak tertulis. Adapun sebagian perkataan Yesus
yang diabadikan kedalam Al-Kitab yang selalu
mendapatkan refisi (versi Copynya) dengan harapan para pembaca dapat memahami setiap
kata dengan benar. Injil setingkat hadist dalam islam. Perlu ditekankan di sini bahwa kitab injil kaum Nasharan
yang asli tidak pernah mendapatkan refisi sekali pun, hanya terjemahannya saja
yang mendapat refisi dan hanya versi revisinya yang boleh diedarkan. Berbeda dengan kaum muslim dimana kitab yang aslilah yang
diedarkan, itu sebabnya dalam islam tidak mengenal refisi karena memiliki fersi
aslinya.
Sekilas Tentang Trinitas
Yang transenden (yang paling ghaib) sebagai bapa, yang kreatif
sebagai anak, dan yang imanen (yang dekat) sebagai roh kudus. Tuhan adalah satu
namun sebagai ketiganya sekaligus dan masing-masing karakter disebut oknum, dan
kaum Nasharan menyebut ini sebagai Trinitas atau tri tunggal. Bagi kaum Muslim
yang telah terbiasa dengan konsep ketunggalan Tuhan yang tak terbantahkan apa
pun caranya mungkin agak sedikit sulit untuk memahami doktrin yang satu ini
karena nyatanya doktrin trinitas ini agak terlalu bertele-tele dalam
menjelaskan konsep ketuhanannya yang memang hanya ada satu. Ada sebagian orang
yang meyakini bahwa konsep Trinitas adalah hasil perkawinan antara doktrin
tritunggal dari mesir kuno yang menuhankan Osiris-Isis-Horus dan berusaha mengconvert
atau menyelaraskannya dengan ajaran Nasharan pada zaman Konstantine yang agung,
dan tokoh yang paling terkenal di antara mereka ialah Athanasius dari Aleksandria
yang dengan gagahnya menyanggah konsep yang dikemukakan oleh Arius. Arius yang
beranggapan bahwa Yesus sama sekali tidak memiliki nubuat ketuhanan harus
berhadapan dengan Athanasius yang mengemukakan doktrin trinitas pada consili
Nicea. Singkat cerita doktrin Athanasiuslah yang diterima oleh sang kaisar
pagan yang bahkan hingga kematiannya yang bernama Konstantine yang agung yang
berkedudukan di konstantinopel (Istanbul).
Percaya atau tidak, doktrin ini sangat sukar dipahami bahkan oleh
kaum Nasrani itu sendiri. Sebagian theolog beranggapan bahwa ini adalah suatu
kelebihan bagi kehidupan theologis Nasrani dimana setiap orang yang kesulitan
memahami Tuhan akan dengan mudah memahami Tuhan itu sendiri karena tidak
memasukkan Tuhan kedalam konsep apa pun yang bersifat terbatas, dan perlu kalian
tahu bahwa ketidak tahuan seseorang kepada Tuhan adalah pengetahuan yang
tertinggi yang pernah dicapai oleh manusia (apofatik).
Langganan:
Postingan (Atom)