Adalah jiwa manusia di mana nalarnya seperti Dewa dan tempat tinggalnya adalah tubuh manusia, orang yang tidak mengenal jiwanya tidak bisa mengambil manfaat dari nalar dan tubuhnya, tetapi orang yang memiliki ilmu jiwa akan memiliki hidup yang bahagia dan penuh rahmat.
Senin, 20 Mei 2024
Metafisika
Dewasa ini, dengan kecanggihan berfikir dan mudahnya pengetahuan untuk diakses hingga pengerukkan total yang tak ada habisnya atas pengetahuan. Sudah sejak lama kita meyakini adanya ada ada yang tak dapat dicerap dan diindra dengan alat alat empirik. Ini menandakan adanya ada yang melampaui ada ada fisik yang penjelasan dan deskripsinya tak dapat dijawab dan dijelaskan dengan metode metode laboraturium atau pun pengolahan data dari studi arkeologis, atau pun observasi. Ada yang dimaksud di sini sangatlah unik jika seorang agen masih baru baru mengkaji bidang keilmuan yang dianggap mampu menjelaskan sekaligus berdiri di atas makhluk makhluk fisik yang kita definisikan dengan pengetahuan metafisika. Pengetahuan ini memang sejak awal selalu setia mengisi kekosongan yang tidak dapat dijawab oleh penelitian indrawi. Kita dapat meneliti makhluk makhluk mikroskopik, kita dapat menentukan usia sebuah guci kuno dengan studi kadar karbon, kita bisa merubah logam menjadi emas jika mitos yang digembor gemborkan itu benar, kita bisa mengamati kebiasaan kebiasaan satwa satwa liar untuk menghasilkan pengetahuan baru tentangnya, namun apakah kita mampu menjelaskan dan mendemonstrasikan ada yang tak dapat dilihat, disentuh, dihirup, atau pun dirasa dengan indra pengecapan, atau dengan indra indra lainnya yang jika memang memungkinkan dan diperlukan? Perlu audiens ketahui dalam pembahasan ini, bahwa ada bukan hanya sebatas pada wujud fisik yang dapat kita cerap dengan alat alat panca indra yang dapat kita alami kapan saja dan di mana saja, melainkan ada pula hal hal yang tak dapat kita cerap dengan alat alat empirik, seperti waktu, ruang, atau pun ide. Waktu, ruang atau pun ide tidak dapat kita sentuh, kita lihat, atau pun kita dengar, namun semua orang tahu bahwa ia ada. Kita hanya bisa mencerap manifestasinya (perwujudannya) dengan alat alat empirik kita. Kita dapat menyentuh jam dinding yang merupakan manifestasi dari waktu. Kita bisa menyentuh dinding atau tepi gelas yang merupakan batas batas dari ruang. Kita bisa menggenggam buku yang merupakan perwujudan dari ide. Akan tetapi kita tidak bisa mecerap dengan sensibilitas kita akan substansi dari ke tiga hal tersebut. Itulah sebabnya siapa pun tidak bisa menggenggam sebuah pemikiran. Kau tidak bisa melihat atau pun menciumnya. Sebab ia bukanlah ranah bagi pengetahuan empiris, melainkan wujud wujud yang ada dalam kajian metafisika, yakni penyelidikan setelah dan melampaui alam alam fisik.
Rabu, 08 Mei 2024
Meruntuhkan Atheisme
Sejauh yang kami tahu tentang paham atheis ialah rancunya metode yang mereka gunakan dalam menginterpretasikan objek yang mereka bidik dan mereka kaji. Mereka menggunakan metode empirik untuk menafsirkan wujud metafisis. Menggunakan mikroskop untuk meneliti jin dan iblis. Ini omong kosong! Mereka menggunakan sains untuk meneliti Tuhan, padahal objek yang sedang kita bahas merupakan wujud metafisik yang melampaui fisik dan tak berjisim. Ada fakta dari kenyataan yang mengecewakan untuk para pengkaji sains yang harus mereka terima dengan lapang dada, yakni; Tuhan dan sains takkan pernah dapat berdamai dan mengerucut ke satu titik, di mana sains berusaha menjelaskan Tuhan dengan bukti bukti ilmiah. Karena Tuhan pun memiliki sisi transenden yang tak dapat kita validasi dengan bukti ilmiah. Karena sifat khas dari fakultas keilmuan metafisika ini bersifat spekulatif. Meskipun begitu, argumen tentang keberadaan Tuhan sangatlah meyakinkan dan sulit walau hanya untuk sekedar meragukan dan meruntuhkan konsep konsepnya yang koheren dengan scripture dan nalar ini. Hingga sampai suatu saat kebenaran akan konsep dan rekonstruksi ketuhanan dapat tervalidasi di yaumul akhir. Namun Tuhan dapat berdamai dengan pengetahuan yang bersifat apriori. Karena pengetahuan ini menganggap dan menempatkan Tuhan sesuai dengan tempat yang seharusnya untuk diselidiki, yakni dengan metode metafisik. Seluas apa pun wujud Tuhan, tetaplah makhluk dikaruniai daya intelek untuk mengetahuinya dan mengikatnya dengan kaidah kaidah berfikir dan hukum hukum yang makhluk miliki, sebagai dampak dari tajalinya. Meskipun pengetahuan yang makhluk miliki sangat sedikit tentang Tuhan. Bahkan saking sedikitnya dapat dikatakan bahwa makhluk tidak memiliki pengetahuan apa pun tentang Tuhan. Pertanyaan seputar "mengapa Tuhan memilih menjadi gaib dan tak terlihat?", "mengapa Tuhan terkadang bersifat tak adil dalam realitas?", dan "mengapa harus ada ketimpangan sosial di lingkungan masyarakat?", itu semua merupakan pertanyaan pertanyaan yang tak memiliki bobot metafisis yang tak perlu dijawab atau pun digubris dan dipusingkan, karena setiap pertanyaan akan selalu ada dalam kenyataan dan tak pernah dapat dibendung oleh nalar siapa pun, dan pertanyaan pun tak pernah ada habisnya. Dan itu adalah wajar. Setidaknya begitulah yang dikatakan Imanuel Kant dalam karyanya yang berjudul "Critique of pure reason" Seperti yang Aristoteles katakan, bahwa "Tuhan tidak mungkin memikirkan hal hal yang remeh. Ia hanya memikirkan hal hal yang penting, sementara yang terpenting dalam realitas adalah diri-Nya sendiri. Itu berarti Tuhan Adalah akal yang memikirkan diri-Nya sendiri." Sikap seperti inilah yang seharusnya ditiru oleh para pengkaji burhani. Meskipun Tuhan Aristoteles tersebut menyimpang dari ajaran Islam.
Langganan:
Postingan (Atom)