Hans zimer

Free Music Sites
Free Music Online

free music at soundcloud

Sabtu, 22 Juni 2024

Sejarah Perkembangan Filsafat Islam

Sebagai awal dari tulisan ini mungkin tulisan ini akan kuberi judul "gonjang ganjing dan geliat filsafat dalam tubuh Islam". Namun sepertinya Tuhan berkata lain, karena aku baru saja menemukan judul yang tepat untuk tulisanku kali ini. Dari tulisan di atas, audiens mungkin dapat menebak hal apa yang akan kutulis. Kehadiran filsafat dalam tubuh keyakinan umat muslim memiliki dua sumber kedatangannya. Yang pertama, pendapat yang mengatakan bahwa kehadiran filsafat Islam berawal dari diskusi dan ijmak para fukaha awal (pada era kehidupan nabi SAW) dalam menentukan suatu hukum haram dan halalnya sesuatu. Jadi dalam pendapat ini filsafat bukanlah hal bid'ah yang hadir dalam Islam, melainkan suatu praktik yang lahir berbarengan dengan kebutuhan umat akan suatu hukum halal atau haramnya sesuatu, yakni ilmu fikih. Sebab dalam kenyataannya para fukaha pun menerapkan metode metode berfilsafat untuk menentukan hukum, seperti Qiyas, berdiskusi, atau pun berdemonstratif. Bahkan nabi SAW pun terkadang berfilsafat untuk menetapkan suatu hukum. Pendapat ini sangat kontras terkesan kabur dan lari dari tuduhan bid'ah yang mengancam eksistensi filsafat, akan tetapi sangat masuk akal untuk dicerna dan dipahami. Pendapat selanjutnya ialah pendapat yang mengatakan bahwa filsafat Islam berawal dari penerjemahan besar besaran yang diperintahkan langsung oleh khalifah Abbasiah kala itu, Al Makmun, terhadap karya tulis filsafat Yunani dan Persia. Di sinilah umat muslim mulai tersentuh dan terhelenisasi secara terlambat jika helenisasi dirujuk dari zaman Alexander Agung. Dan pendapat inilah yang mengatakan secara langsung bahwa filsafat merupakan bidang keilmuan yang bid'ah, meskipun ada penjelasan tersendiri seputar bid'ah tersebut. Dalam perjalanannya, filsafat islam mendapatkan tantangan berupa hujjah dari seorang yang memenangkan sayembara untuk menekan dan mengendalikan pertumbuhan filsafat, karena pada saat itu pemikiran filsafat bergerak liar, bahkan menyerang doktrin doktrin pokok umat muslim seperti Al Qur'an dan hadits. Tersebutlah Abu Hamid Al Ghazali yang berdiri kokoh menyongsong para filsuf muslim yang menyimpang dari akidah. Ia mendapatkan kemasyuran karena dianggap berhasil menekan pertumbuhan filsafat kala itu dengan kitab hujjahnya yang berjudul "Tahafut Al Falasifah". Meskipun yang ia hujjah hanya pada ranah metafisikanya, bukan pada ranah filsafat secara keseluruhan. Oleh sebab itulah Ibn Rusyd tampil ke permukaan untuk membela filsafat dalam karyanya "Tahafut At Tahafut". Namun, pasca serangan ofensif yang gencar dilakukan oleh imam Ghazali, filsafat Islam lantas tidak surut begitu saja, meskipun banyak yang menganggap bahwa pasca hujjah yang dilakukan Ghazali filsafat Islam mengalami kemunduran. Hal itu tidaklah benar demikian. Kita masih bisa mengenal filsuf filsuf besar umat muslim yang muncul pasca hujjahnya imam Ghazali, seperti Suhrawardi, Mulla Sadra, Seyyed Hossein Nasr, dan Hasan Hanafi sebagai filsuf Islam kontemporer. Akan tetapi filsafat Islam mulai berubah dan mengambil bentuk yang tidak seperti sebelumnya lagi, dimana nalar menjadi pijakan utamanya, melainkan menggabungkan antara ajaran irfani dan burhani. Jadi, pasca hujjah yang dilakukan oleh Ghazali filsafat Islam sudah tidak murni bersifat rasional, melainkan dipadukan dengan pengetahuan intuitif nan mistik. Timbul pertanyaan dalam benak kami, jika filsafat dan sufisme berpadu hingga menjadi satu kesatuan yang utuh maka apakah gabungan kedua epistemologi ini akan melahirkan bidang kajian baru?

Senin, 20 Mei 2024

Metafisika

Dewasa ini, dengan kecanggihan berfikir dan mudahnya pengetahuan untuk diakses hingga pengerukkan total yang tak ada habisnya atas pengetahuan. Sudah sejak lama kita meyakini adanya ada ada yang tak dapat dicerap dan diindra dengan alat alat empirik. Ini menandakan adanya ada yang melampaui ada ada fisik yang penjelasan dan deskripsinya tak dapat dijawab dan dijelaskan dengan metode metode laboraturium atau pun pengolahan data dari studi arkeologis, atau pun observasi. Ada yang dimaksud di sini sangatlah unik jika seorang agen masih baru baru mengkaji bidang keilmuan yang dianggap mampu menjelaskan sekaligus berdiri di atas makhluk makhluk fisik yang kita definisikan dengan pengetahuan metafisika. Pengetahuan ini memang sejak awal selalu setia mengisi kekosongan yang tidak dapat dijawab oleh penelitian indrawi. Kita dapat meneliti makhluk makhluk mikroskopik, kita dapat menentukan usia sebuah guci kuno dengan studi kadar karbon, kita bisa merubah logam menjadi emas jika mitos yang digembor gemborkan itu benar, kita bisa mengamati kebiasaan kebiasaan satwa satwa liar untuk menghasilkan pengetahuan baru tentangnya, namun apakah kita mampu menjelaskan dan mendemonstrasikan ada yang tak dapat dilihat, disentuh, dihirup, atau pun dirasa dengan indra pengecapan, atau dengan indra indra lainnya yang jika memang memungkinkan dan diperlukan? Perlu audiens ketahui dalam pembahasan ini, bahwa ada bukan hanya sebatas pada wujud fisik yang dapat kita cerap dengan alat alat panca indra yang dapat kita alami kapan saja dan di mana saja, melainkan ada pula hal hal yang tak dapat kita cerap dengan alat alat empirik, seperti waktu, ruang, atau pun ide. Waktu, ruang atau pun ide tidak dapat kita sentuh, kita lihat, atau pun kita dengar, namun semua orang tahu bahwa ia ada. Kita hanya bisa mencerap manifestasinya (perwujudannya) dengan alat alat empirik kita. Kita dapat menyentuh jam dinding yang merupakan manifestasi dari waktu. Kita bisa menyentuh dinding atau tepi gelas yang merupakan batas batas dari ruang. Kita bisa menggenggam buku yang merupakan perwujudan dari ide. Akan tetapi kita tidak bisa mecerap dengan sensibilitas kita akan substansi dari ke tiga hal tersebut. Itulah sebabnya siapa pun tidak bisa menggenggam sebuah pemikiran. Kau tidak bisa melihat atau pun menciumnya. Sebab ia bukanlah ranah bagi pengetahuan empiris, melainkan wujud wujud yang ada dalam kajian metafisika, yakni penyelidikan setelah dan melampaui alam alam fisik.

Rabu, 08 Mei 2024

Meruntuhkan Atheisme

Sejauh yang kami tahu tentang paham atheis ialah rancunya metode yang mereka gunakan dalam menginterpretasikan objek yang mereka bidik dan mereka kaji. Mereka menggunakan metode empirik untuk menafsirkan wujud metafisis. Menggunakan mikroskop untuk meneliti jin dan iblis. Ini omong kosong! Mereka menggunakan sains untuk meneliti Tuhan, padahal objek yang sedang kita bahas merupakan wujud metafisik yang melampaui fisik dan tak berjisim. Ada fakta dari kenyataan yang mengecewakan untuk para pengkaji sains yang harus mereka terima dengan lapang dada, yakni; Tuhan dan sains takkan pernah dapat berdamai dan mengerucut ke satu titik, di mana sains berusaha menjelaskan Tuhan dengan bukti bukti ilmiah. Karena Tuhan pun memiliki sisi transenden yang tak dapat kita validasi dengan bukti ilmiah. Karena sifat khas dari fakultas keilmuan metafisika ini bersifat spekulatif. Meskipun begitu, argumen tentang keberadaan Tuhan sangatlah meyakinkan dan sulit walau hanya untuk sekedar meragukan dan meruntuhkan konsep konsepnya yang koheren dengan scripture dan nalar ini. Hingga sampai suatu saat kebenaran akan konsep dan rekonstruksi ketuhanan dapat tervalidasi di yaumul akhir. Namun Tuhan dapat berdamai dengan pengetahuan yang bersifat apriori. Karena pengetahuan ini menganggap dan menempatkan Tuhan sesuai dengan tempat yang seharusnya untuk diselidiki, yakni dengan metode metafisik. Seluas apa pun wujud Tuhan, tetaplah makhluk dikaruniai daya intelek untuk mengetahuinya dan mengikatnya dengan kaidah kaidah berfikir dan hukum hukum yang makhluk miliki, sebagai dampak dari tajalinya. Meskipun pengetahuan yang makhluk miliki sangat sedikit tentang Tuhan. Bahkan saking sedikitnya dapat dikatakan bahwa makhluk tidak memiliki pengetahuan apa pun tentang Tuhan. Pertanyaan seputar "mengapa Tuhan memilih menjadi gaib dan tak terlihat?", "mengapa Tuhan terkadang bersifat tak adil dalam realitas?", dan "mengapa harus ada ketimpangan sosial di lingkungan masyarakat?", itu semua merupakan pertanyaan pertanyaan yang tak memiliki bobot metafisis yang tak perlu dijawab atau pun digubris dan dipusingkan, karena setiap pertanyaan akan selalu ada dalam kenyataan dan tak pernah dapat dibendung oleh nalar siapa pun, dan pertanyaan pun tak pernah ada habisnya. Dan itu adalah wajar. Setidaknya begitulah yang dikatakan Imanuel Kant dalam karyanya yang berjudul "Critique of pure reason" Seperti yang Aristoteles katakan, bahwa "Tuhan tidak mungkin memikirkan hal hal yang remeh. Ia hanya memikirkan hal hal yang penting, sementara yang terpenting dalam realitas adalah diri-Nya sendiri. Itu berarti Tuhan Adalah akal yang memikirkan diri-Nya sendiri." Sikap seperti inilah yang seharusnya ditiru oleh para pengkaji burhani. Meskipun Tuhan Aristoteles tersebut menyimpang dari ajaran Islam.