Hans zimer

Free Music Sites
Free Music Online

free music at soundcloud

Senin, 30 April 2018

Deisme

              Baik. Kita mulai. Tuhan menitipkan makhluk kepada jagad raya karena jagad raya tercipta dengan citra-Nya. Jika kita mendapati seorang pematung yang professional, pastinya ia akan membuat patung yang baik dan menawan karena patung tersebut tercipta oleh sang “professional”. Jika sang “professional” dapat membuat patung yang indah karena “ke-profesionalan-nya”, terlebih Tuhan yang melampaui kata “ke-profesionalan” tersebut, yang menjadikan jagad raya menjadi mandiri dalam artian Tuhan melampaui kata ke-mandirian tersebut, yang tidak terlukiskan oleh kata kata atau oleh apapun. Selain itu eksistensi sang Qadim yang an sich ialah terbebas dari seluruh rantai batasan, sedangkan al hadist (jagad raya) adalah terbatas dengan segala kekurangan dan ketergantungannya, karena tanpa Tuhan Semesta bukanlah apa apa, atau bahkan tiada. Jadi jika yang Qadim memanifestasikan eksistensinya ke dalam jagad raya, maka kapasitas jagad raya tidak akan sanggup menampung enksistensi sang Qadim yang an sich, karena yang Qadim adalah absolut sedangkan ruang memiliki ujung yang satu dengan ujung yang lainnya, dan waktu yang memiliki awal dan akhir. Semesta haruslah bersifat terbatas, sebab jika alam semesta tidak terbatas maka yang absolut akan menjadi jamak, yaitu Tuhan dan alam semesta. Jadi Tuhan tidak mungkin bergerak, beraktifitas, dan ada dalam jagad raya yang bersifat terbatas. Dan jika Tuhan sekonyong konyong menjadikan dirinya menjadi terbatas hanya karena ingin mengabulkan do’a beberapa individu pilihannya secara langsung atau karena Ia adalah Tuhan maka Ia jauh lebih parah dari pada khalifah tiran. Itu artinya Tuhan tidak mengutuk, melaknat, dan mengabulkan do’a secara langsung, melainkan dengan menggunakan perantara yang juga bersifat terbatas atau membalasnya di hari nanti. Lagi pula ilmu Noetic telah mengatakan bahwa fikiran yang terfokus pada suatu objek, fikiran tersebut akan mengeluarkan masa transparan yang memiliki gaya tarik agar objek yang dimaksud dapat bergerak sesuai dengan keinginan pemilik fikiran tersebut, hanya saja masa yang dikeluarkan oleh individu tersebut terlalu kecil agar dapat merubah keadaan (semakin banyak yang memikirkan objek yang sama, maka masa transparan yang akan dikeluarkannya pun akan semakin besar). Apa lagi sebutan do’a kalau bukan memusatkan fikiran pada objek yang dimaksud, meskipun pemusatan fikiran tersebut dilakukan di luar kesadaran si pendo’a. Itu artinya yang bertindak mengabulkan do’a ialah idividu individu itu sendiri yang diberi kemampuan oleh Tuhan untuk menjadi perantara-Nya dalam mengabulkan do’a do’anya sendiri. Untuk membuktikan pendapat Noetic tersebut, anda dapat mencobanya dengan melakukan metode telekinesis. Telah banyak penjelasan tentang telekinesis di interlink, dan web web mereka pun dapat dipercaya karena kami telah membuktikannya.
Selanjutnya, Tuhan ialah mukhalafatu lil hawaditsi, dalam artian Ia tidak terikat oleh ruang dan waktu, jika Tuhan beraktifitas dalam jagad raya maka apa yang membedakan antara Tuhan dengan al hadist? Bukankah ludah para pemabuk dan cairan otak dari korban kecelakaan akan mengurangi kesuciannya?
                Bukti lain bahwa deisme itu nyata datang dari kisah pewahyuan yang diterima oleh nabiullah Muhammad SAW. Telah akrab di telinga kita bahwa yang membawa wahyu dari esensi Tuhan menuju hati dan fikiran Muhammad SAW ialah sesosok malaikat yang menamakan dirinya sebagai Jibril. Timbul satu pertanyaan dalam benak kami, “kenapa Tuhan tidak mewahyukan firmannya secara langsung dari esensinya menuju fikiran Muhammad SAW?” Pewahyuan ini adalah sebuah petunjuk penting dan bukti bahwa untuk makhluk yang paling dikasihinya sekalipun Tuhan tidak akan menjadikan dirinya menjadi terbatas. Maksud kami, kisah pewahyuan tersebut merupakan petunjuk sekaligus bukti bahwa untuk berkomunikasi dan beraktifitas dengan al hadist yang bersifat terbatas maka Tuhan akan menggunakan perantaranya yang bersifat terbatas pula untuk menyampaikan maksud dan tujuan Tuhan. Musa bahkan lebih parah lagi, ia berusaha menampung sedikit tanda tanda dari eksistensi Tuhan seorang diri dengan cara menatapnya (menampung eksistensi objek memalui penglihatan). Dan hasilnya pun dapat anda ketahui. Ia hampir mati karena telah melihat sedikit cahaya Tuhan yang barada di luar kapasitasnya.

Deisme pun memiliki keunggulan, yakni tidak mudah menyalahkan Tuhan dan takdir karena memberi cobaan ini atau cobaan itu (gabungan antara determinism dan posibilism/dengan beberapa penggalan tentunya), karena memang Tuhan tidak terlibat dengan aktifitas manusia secara langsung. Tuhan hanya menciptakan jagad raya dan menyediakan segalanya dalam jagad raya untuk kepentingan dan kelangsungan hidup para makhluk, menciptakan yang benar dan yang salah, agar yang salah dapat menjadi cobaan untuk tetap istiqomah di jalan Allah atau berbalik memungkiri dan menyekutukan-Nya. Jadi, pihak yang salah adalah si ini atau si itu, bukan Tuhan secara langsung (transenden). Dalam deisme pun, Tuhan tidak menyelamatkan, Tuhan hanya menyediakan penyelamatan yang menjadikan Dirinya sebagai penyelamat secara tidak langsung. Namun, deisme pun tidak luput dari kekurangan yakni, Tuhan yang dipahami seorang deis akan terlampau jauh untuk diakses atau diimanenkan sehingga seorang deis akan sulit untuk mendekatkan diri dengan Tuhan. Dan, seorang deis akan menyadari bahwa dirinya hanya seorang diri dalam realitas, layaknya debu dalam padang pasir atau buih dalam lautan. Tidak seperti pemahaman mayoritas di mana mereka baranggapan bahwa kami bersama ini atau kami bersama itu. Padahal itu semua hanya anggapan semu untuk menghibur dirinya sendiri dan menganggap bahwa dirinya tidak seorang diri dalam realitas (bukankah di akhirat kelak kita akan sorang diri?), meskipun Tuhan telah mengatakan bahwa Diri-Nya lebih dekat dari urat leher. Tuhan tidak berbohong tentang itu, melainkan pernyataan tersebut merupakan paradoks yang harus dipecahkan oleh para teolog. Semua definisi Tuhan dan perintahnya yang tertera dalam wahyu dan syari'at hanya berusaha untuk menciptakan insan ideal atau insanul kamil (pribadi yang sesuai dengan keinginan Tuhan) yang merupakan insan insan yang mendapat keselamatan karena mengikuti pentunjuk dari Tuhan, jadi Tuhan berusaha turun tangan untuk membentuk akhlaq dan kepribadian setiap individu sekaligus menyelamatkan umat manusia dari hal hal yang tidak diinginkannya. Dan, untuk melampaui insan insan tersebut sumber pengetahuan harus diperluas, dari Al-Qur’an dan hadist (sumber pokok/basic) menuju keseluruhan realitas, baik empiris maupun rasionalis, dari buku maupun kitab kitab yang lain, karena Al-Qu’an dan hadist bukan satu satunya sumber pengetahuan meskipun mereka berdua merupakan sumber sumber pokok yang harus tetap dipegang teguh.

Rabu, 18 April 2018

Teologi Negative

Sebelum memulai diskusi kita kali ini perlu diingat oleh para pembaca bahwa eksistensi Tuhan yang an sich adalah mutlak (tetap), absolut, tanpa batas, tanpa akhir (Ein Sof), dan misteri abadi, atau dapat dirangkum menjadi satu kata yakni negative (peniadaan/tidak dapat di-ada-kan). Dan, jika kalian mendapati seseorang yang mengatakan bahwa Tuhan adalah ini atau Tuhan adalah itu, Tuhan itu begini ataupun Tuhan itu begitu, percayalah bahwa orang yang mengatakan demikian telah keliru dalam memahami Tuhan yang memiliki sifat negative yang tak terlukiskan oleh kata – kata dan melampaui batas – batas sang mawjud itu sendiri yang relative (tidak tetap dan selalu berubah) dan fana ini. Di sini teologi negative berusaha mengatakan bahwa Tuhan adalah ada, agar teologi negative tidak terjatuh ke dalam atheism seperti yang banyak dipahami oleh orang awam yang berpemaham dangkal. Namun di sisi lain teologi negative juga berusaha mengatakan bahwa Tuhan adalah tiada, agar teologi negative tidak menjatuhkan Tuhan ke dalam terma, wacana, diskusi, rekonstruksi, konsep, perdebatan, dll (terma, wacana, diskusi, rekonstruksi, konsep, perdebatan identik dengan lisan dan gambaran, dan lisan atau gambaran yang dimiliki oleh mawjud identik dengan keterbatasan dan ketidak sanggupan. Sebagai contoh, dapatkah anda memikirkan seorang diri tentang segala hal yang dibutuhkan bumi, tatanan, pemerintahan, manusia dan makhluk lain tanpa lelah dan sedikitpun kesalahan atau kecacatan pada ide ide anda? Atau dapatkah anda merasionalisasi para makhluk gaib? Jadi Tuhan adalah ada sekaligus tidak ada dalam waktu yang bersamaan. Jika Tuhan yang bersifat tidak terbatas masuk ke dalam wacana dan diskursus apapun yang bersifat terbatas maka terbatas pula Tuhan itu sendiri, dan itu adalah mustahil. Tuhan adalah tiada, tiada di sini atau tiada di situ, karena Tuhan adalah misteri abadi yang tidak dapat diketahui keberadaannya oleh siapapun, sebab tahu berarti siap memasukkan Tuhan kedalam rekonstruksi apapun yang bersifat terbatas. Jadi, sikap yang tepat untuk melukiskan Tuhan yang sebenarnya (an sich) adalah dengan diam, karena dengan diam siapa pun tidak memasukkan Tuhan ke dalam term apapun. Tuhan, Tuhan, danTuhan, Ia adalah misteri abadi, karena mawjud (terbatas) mana yang dapat menampung eksistensi Tuhan yang bersifat tidak terbatas seorang diri, jika sang mawjud berusaha melihat (menampung dalam fikirannya melalui penglihatan) eksistensi Tuhan yang bersifat tanpa batas maka dapat disimpulkan mawjud tersebut akan membunyikan lonceng kematian untuk dirinya sendiri, dan itu adalah rasa yang sama yang pernah dirasakan oleh Musa yang berusaha melihat Tuhan di gunung Thursina (Sinai). Singkatnya, kapasitas yang dimiliki oleh makhluk tidak akan sanggup menampung eksistensi Tuhan yang berada di luar kapasitasnya “Hasrat menginginkan kepenuhan, namun semakin ia menginginkan kepenuhan, ia tidak dapat mencapai yang diinginkannya”. Teologi negative ini dapat disebut juga sebagai teologi apofatik, dan teologi apofatik lebih unggul beberapa langkah dari pada lawannya yakni teologi katafatik. Jadi, jika teologi negative (apofatik) lebih unggul dari pada teologi katafatik lalu mengapa Tuhan memilih untuk mem-positif-kan (meng-ada-kan) Dirinya dalam wahyu? Karena Tuhan yang selalu dipahami secara negative akan terlampau jauh dan sulit untuk didekati ataupun diakses oleh para makhluk, Tuhan mem-positif-kan Diri-Nya agar setiap hamba dapat merasa dekat dan nyaman berada di bawah naungan-Nya (imanen) tanpa harus melupakan tanzih terhadap-Nya.