Baik. Kita mulai. Tuhan
menitipkan makhluk kepada jagad raya karena jagad raya tercipta dengan
citra-Nya. Jika kita mendapati seorang pematung yang professional, pastinya ia
akan membuat patung yang baik dan menawan karena patung tersebut tercipta oleh
sang “professional”. Jika sang “professional” dapat membuat patung yang indah
karena “ke-profesionalan-nya”, terlebih Tuhan yang melampaui kata
“ke-profesionalan” tersebut, yang menjadikan jagad raya menjadi mandiri dalam
artian Tuhan melampaui kata ke-mandirian tersebut, yang tidak terlukiskan oleh
kata kata atau oleh apapun. Selain itu eksistensi sang Qadim yang an sich ialah
terbebas dari seluruh rantai batasan, sedangkan al hadist (jagad raya) adalah
terbatas dengan segala kekurangan dan ketergantungannya, karena tanpa Tuhan Semesta bukanlah apa apa, atau bahkan tiada. Jadi jika yang Qadim
memanifestasikan eksistensinya ke dalam jagad raya, maka kapasitas jagad raya
tidak akan sanggup menampung enksistensi sang Qadim yang an sich, karena yang
Qadim adalah absolut sedangkan ruang memiliki ujung yang satu dengan ujung yang
lainnya, dan waktu yang memiliki awal dan akhir. Semesta haruslah bersifat terbatas, sebab jika alam semesta tidak terbatas maka yang absolut akan menjadi jamak, yaitu Tuhan dan alam semesta. Jadi Tuhan tidak mungkin
bergerak, beraktifitas, dan ada dalam jagad raya yang bersifat terbatas. Dan
jika Tuhan sekonyong konyong menjadikan dirinya menjadi terbatas hanya karena
ingin mengabulkan do’a beberapa individu pilihannya secara langsung atau karena
Ia adalah Tuhan maka Ia jauh lebih parah dari pada khalifah tiran. Itu artinya
Tuhan tidak mengutuk, melaknat, dan mengabulkan do’a secara langsung, melainkan
dengan menggunakan perantara yang juga bersifat terbatas atau membalasnya di
hari nanti. Lagi pula ilmu Noetic telah mengatakan bahwa fikiran yang terfokus
pada suatu objek, fikiran tersebut akan mengeluarkan masa transparan yang
memiliki gaya tarik agar objek yang dimaksud dapat bergerak sesuai dengan
keinginan pemilik fikiran tersebut, hanya saja masa yang dikeluarkan oleh individu
tersebut terlalu kecil agar dapat merubah keadaan (semakin banyak yang
memikirkan objek yang sama, maka masa transparan yang akan dikeluarkannya pun akan
semakin besar). Apa lagi sebutan do’a kalau bukan memusatkan fikiran pada objek
yang dimaksud, meskipun pemusatan fikiran tersebut dilakukan di luar kesadaran
si pendo’a. Itu artinya yang bertindak mengabulkan do’a ialah idividu individu
itu sendiri yang diberi kemampuan oleh Tuhan untuk menjadi perantara-Nya dalam
mengabulkan do’a do’anya sendiri. Untuk membuktikan pendapat Noetic tersebut,
anda dapat mencobanya dengan melakukan metode telekinesis. Telah banyak
penjelasan tentang telekinesis di interlink, dan web web mereka pun dapat
dipercaya karena kami telah membuktikannya.
Selanjutnya, Tuhan ialah mukhalafatu lil hawaditsi, dalam artian Ia
tidak terikat oleh ruang dan waktu, jika Tuhan beraktifitas dalam jagad raya
maka apa yang membedakan antara Tuhan dengan al hadist? Bukankah ludah para
pemabuk dan cairan otak dari korban kecelakaan akan mengurangi kesuciannya?
Bukti lain bahwa deisme itu nyata
datang dari kisah pewahyuan yang diterima oleh nabiullah Muhammad SAW. Telah
akrab di telinga kita bahwa yang membawa wahyu dari esensi Tuhan menuju hati
dan fikiran Muhammad SAW ialah sesosok malaikat yang menamakan dirinya sebagai
Jibril. Timbul satu pertanyaan dalam benak kami, “kenapa Tuhan tidak mewahyukan
firmannya secara langsung dari esensinya menuju fikiran Muhammad SAW?”
Pewahyuan ini adalah sebuah petunjuk penting dan bukti bahwa untuk makhluk yang
paling dikasihinya sekalipun Tuhan tidak akan menjadikan dirinya menjadi
terbatas. Maksud kami, kisah pewahyuan tersebut merupakan petunjuk sekaligus bukti
bahwa untuk berkomunikasi dan beraktifitas dengan al hadist yang bersifat
terbatas maka Tuhan akan menggunakan perantaranya yang bersifat terbatas pula
untuk menyampaikan maksud dan tujuan Tuhan. Musa bahkan lebih parah lagi, ia
berusaha menampung sedikit tanda tanda dari eksistensi Tuhan seorang diri
dengan cara menatapnya (menampung eksistensi objek memalui penglihatan). Dan hasilnya pun dapat anda ketahui. Ia hampir mati
karena telah melihat sedikit cahaya Tuhan yang barada di luar kapasitasnya.
Deisme pun memiliki keunggulan, yakni tidak mudah menyalahkan Tuhan
dan takdir karena memberi cobaan ini atau cobaan itu (gabungan antara determinism dan
posibilism/dengan beberapa penggalan tentunya), karena memang Tuhan tidak terlibat dengan aktifitas manusia secara
langsung. Tuhan hanya menciptakan jagad raya dan menyediakan segalanya dalam
jagad raya untuk kepentingan dan kelangsungan hidup para makhluk, menciptakan
yang benar dan yang salah, agar yang salah dapat menjadi cobaan untuk tetap
istiqomah di jalan Allah atau berbalik memungkiri dan menyekutukan-Nya. Jadi, pihak
yang salah adalah si ini atau si itu, bukan Tuhan secara langsung (transenden).
Dalam deisme pun, Tuhan tidak menyelamatkan, Tuhan hanya menyediakan
penyelamatan yang menjadikan Dirinya sebagai penyelamat secara tidak langsung.
Namun, deisme pun tidak luput dari kekurangan yakni, Tuhan yang dipahami
seorang deis akan terlampau jauh untuk diakses atau diimanenkan sehingga
seorang deis akan sulit untuk mendekatkan diri dengan Tuhan. Dan, seorang deis
akan menyadari bahwa dirinya hanya seorang diri dalam realitas, layaknya debu
dalam padang pasir atau buih dalam lautan. Tidak seperti pemahaman mayoritas di
mana mereka baranggapan bahwa kami bersama ini atau kami bersama itu. Padahal
itu semua hanya anggapan semu untuk menghibur dirinya sendiri dan menganggap
bahwa dirinya tidak seorang diri dalam realitas (bukankah di akhirat kelak kita
akan sorang diri?), meskipun Tuhan telah mengatakan bahwa Diri-Nya lebih dekat
dari urat leher. Tuhan tidak berbohong tentang itu, melainkan pernyataan
tersebut merupakan paradoks yang harus dipecahkan oleh para teolog. Semua
definisi Tuhan dan perintahnya yang tertera dalam wahyu dan syari'at hanya
berusaha untuk menciptakan insan ideal atau insanul kamil (pribadi yang sesuai
dengan keinginan Tuhan) yang merupakan insan insan yang mendapat keselamatan
karena mengikuti pentunjuk dari Tuhan, jadi Tuhan berusaha turun tangan untuk
membentuk akhlaq dan kepribadian setiap individu sekaligus menyelamatkan umat
manusia dari hal hal yang tidak diinginkannya. Dan, untuk melampaui insan insan
tersebut sumber pengetahuan harus diperluas, dari Al-Qur’an dan hadist (sumber
pokok/basic) menuju keseluruhan realitas, baik empiris maupun rasionalis, dari buku
maupun kitab kitab yang lain, karena Al-Qu’an dan hadist bukan satu satunya
sumber pengetahuan meskipun mereka berdua merupakan sumber sumber pokok yang
harus tetap dipegang teguh.