Hans zimer

Free Music Sites
Free Music Online

free music at soundcloud

Selasa, 14 Januari 2020

Tiga Pintu Hikmah Dan Tanggapan Terhadap Atheisme


Baik, langsung saja. Dari pengamatan terhadap alam kita dapat membuka beberapa pintu hikmah yang tersembunyi yang dapat dibuka dengan akal, baik nalar maupun akal budi, indra dan hati. Dikatakan tersembunyi karena seringnya pintu-pintu hikmah tersebut luput dari kesadaran maujud atau kerumitan maujud itu sendiri untuk mengabstraksi setiap fenomena. Pintu hikmah yang pertama; bahwasanya pada setiap fenomena realitas terdapat gradasi, baik dalam ekosistem atau pun kehidupan dan aktifitas sehari-hari maujud itu sendiri, yang bertumpuk-tumpuk yang bahkan dapat ditemui pada serial televisi. Contoh: setelah angka satu maka angka yang lebih unggul selanjutnya adalah angka dua. Jika Sadra memiliki uang sebanyak satu juta, bukankah dua juta akan lebih baik? (dalam hal ini bukan berarti; jika satu wujud itu baik, bukankah dua wujud akan lebih baik? Karena ini tidak masuk akal. Wujud adalah pemenang tunggal yang tiada tanding). Contoh selanjutnya datang dari bayi, bayi itu tidaksama dengan anak SMA karena faktor fisik, pengetahuan, pengalaman, kedewasaan, dan juga kehidupan sang bayi pun baru saja dimulai. Demikian pula orang dewasa yang berbeda dengan anak SMA karena faktor serupa dan juga ruang lingkupnya dipenuhi oleh tanggung jawab. Orang parlemen berbeda dengan pengamen karena pengetahuan yang dimilikinya. Singa berbeda dengan zebra karena naluri yang dimilikinya. Dan manusia berbeda dengan monyet karena instrument yang digunakannya. Manusia didominasi dengan akal, indra dan hati yang siap membimbingnya ke arah yang progresif, sedangkan monyet didominasi oleh naluri. Maujud tidak dapat menciptakan hyle dan hanya bisa pasrah ketika ia telah sakaratul maut. Ia hanya dapat menangkap, mengolah apa yang telah tampak dan mempelajarinya. Itu artinya maujud telah menunjukkan setidaknya dua ketidaksanggupannya dalam hal kehendak. Maujud tidak sanggup menciptakan langit beserta gemerlap bintang dan planet-planetnya, sedangkan lagit ada bukan karena ada dengan sendirinya atau pun qadim, sebab langit pun terdiri dari susunan debu dan partikel yang memiliki gaya tarik semacam grafitasi yang berkumpul dan menggumpal hingga mendapatkan bentuk seperti yang kita lihat sekarang ini. Pertanyaan penting dalam paragraph ini ialah; siapa yang menyelenggarakan langit beserta isinya tersebut?Kebetulan atau ada dengan sendirinya adalah jawaban yang remeh melihat hasil terjadinya yang begitu menakjubkan. Adanya alam semesta pastilah adanya unsur kesengajaan. Sedangkan dalil gradasi mengisyaratkan adanya sesuatu yang melampaui maujud yang dapat menciptakan apa yang tidak dapat diciptakan oleh maujud dimana makhluk yang paling cerdas ibarat seekor monyet yang dibandingkan dengan manusia, dimana kecacatannya tampak begitu jelas jika membandingkan makhluk terbaik dengan suatu gradasi puncak di atas maujud.
                Gradasi puncak inilah yang diyakini telah meng-ada-kan alam dan menyelenggarakan kehidupan. Semesta pastilah memiliki batas. Karena jika alam semesta memiliki sifat tanpa batas maka yang tanpa batas menjadi jamak, wujud dan alam. Ini merupakan suatu kemustahilan mengingat wujud tidak memerlukan tandingan, karena ia adalah adikodrati dengan gradasi paling awal. Karena alam semesta memiliki batas itu artinya alam semesta adalah fana dan tidak selalu ada.
                Dengan ketidakunggulan maujud, pembaca dapat menangkap isyarat keberadaan sesuatu pada gradasi puncak yang mandiri dan mampu, yang tidak merasakan sakit dan hanya memiliki keunggulan dan tidak memiliki keterbatasan yang menyebabkan ia selalu ada. Inilah hasil analogi dari gradasi alam kepada kehidupan yang berakhir dengan wujud niscaya yang adikodrati. Dan itu pula yang dinamakan dengan kesadaran berketuhanan. Sadar akan adanya gradasi pada setiap langit yang berakhir pada ‘prima causa’, Penyebab dari semua penyebab. Alam tidak mungkin ada karena kebetulan, sebab tinta yang tanpa sengaja tertumpah takkan pernah menjadi puisi.
                Dan juga tidaklah mungkin sekiranya alam menciptakan dirinya sendiri, sebab kehendak hanya dimiliki oleh sesuatu yang berakal. Sedangkan alam tidaklah berakal sehingga tidak memiliki kehendak. Wujud diidentikkan dengan akal karena segala hal yang disifati dengan akal adalah kemuliaan. Bayangkan dengan flora dan fauna yang tidak memiliki akal dan hanya menuruti nalurinya sendiri, tentu keduanya tidak akan sanggup membangun sebuah peradaban, melainkan alam liar dimana hukum rimbalah yang berkuasa. Jika alam semesta menciptakan dirinya sendiri, itu artinya alam semesta yang didominasi oleh hyle mati memiliki kehendak. Lalu kenapa tidak, setelah menciptakan dirinya sendiri, planet pluto sebagai planet yang tersedia di jagad raya dan bagian dari alam mengerjakan tugas kelompok bersama planet yang ia cintai? Atau mengapa batu tidak dapat berjalan ke masjid dan menunaikan kewajibannya? Kenapa patty tidak dapat menggoreng dirinya sendiri? Bukankah alam memiliki kehendak? Jikalau alam menciptakan dirinya sendiri yang begitu hebat dan mengerikan, lantas apa gerangan yang menyebabkan atheis tidak menyembah alam? Bukankah alam itu adikodrati dengan gradasi di atas maujud, yang dapat menciptakan apa yang tidak dapat diciptakan oleh maujud? Jika alam mampu menciptakan dirinya sendiri dan tidak membutuhkan ritual penyembahan , bukankah dapat dikatakan bahwa ciptaan tidak tahu diri dan tidak tahu balas budi? Bayangkan, sesosok maujud telah di-ada-kan, ia dapat merasakan kelezatan makanan, merasakan nikmatnya rasa kenyang setelah sebelumnya merasakan kelaparan, merasakan segarnya segelas air putih di tengah keletihan, merasakan indahnya mencintai walau nasib kisahnya tidak seberuntung yang lain. Meski ada terkadang terasa mengecewakan, menyebalkan, dan berat, akan tetapi dengan ke-ada-an ini maujud dapat menjadi lebih bijak dan dewasa dalam menyikapi suatu fenomena. Di manakah putih jika tanpa hitam? Di manakah letak kedamaian jika tanpa kerusuhan? Seseorang menjadi buruk karena seseorang ada yang menjadi baik. Seseorang menjadi pintar karena seseorang yang lain ada yang menjadi bodoh. Makhluk terlahir dengan aksiden dualisnya, atau bahkan lebih. Memang ada adalah kesempatan untuk mandapatkan nikmat yang hakiki di tempat lain nanti, yang tidak akan pernah siapa pun rasakan jika ia tidak ada. Itulah alasan mengapa banyak orang mengatakan bahwa hidup adalah anugrah. Karena ada adalah kenikmatan.
                Sedangkan yang ke dua adalah tentang waktu. Waktu adalah hasil pengematan makhluk terhadap alam. Sedangkan alam ada lebih dahulu ketimbang maujud yang membuat gagasan tentang waktu tersebut. Waktu adalah hasil fenomena alam yang berpangkal kepada gerak. Karena alam terus menerus bergerak hingga berevolusi yang berpuncak pada maujud yang berakal, maka ia diikat oleh maujuddengan waktu. Inilah kuiditas-Nya. Dan jika wujud mengandung unsur gerak, maka pergerakan-Nya dapat diukur oleh waktu, seperti: sejak kapan? Sampai di mana? Dan sedang apa? Jika pertanyaan ini dijawab maka dapat dikatakan bahwa wujud tidaklah mutlak melainkan tumbuh dan berkembang dalam dan bersama waktu. Jadi wujud adalah diam aktif yang tinggal di dalam dirinya sendiri. Jika ditelisik melalui sudut pandang metafisika, biogenesis merupakan kenyataan yang konkret, karena substansi kehidupan berasal dari sesuatu yang telah ada; yakni ada dalam ide wujud yang menjadikannya maujud-maujud yang potensial menjadi aktual. Namun jika aspek metafisika tidak dilibatkan dalam diskursus tersebut maka terma kisah penciptaan jatuh ke dalam creation ex nihilo penciptaan dari ketiadaan. Inilah sisi letak kekeliruan filsafat Herakleitus, karena dalilnya tidak dapat diterapkan dalam konsep ketuhanan. Ia hanya dapat diterapkan pada pasca penciptaan itu terjadi.
                Ketiga; 20 sifat wujud dan juga 99 asma-Nya merupakan atribut yang maujud kenakan kepada wujud akibat emanasi pancaran kasih sayang-Nya. Seperti; kita melihat batu di toko material atau di pinggir jalan dimana jumlah batu lebih dari satu, inilah kuantitasnya. Lalu setelah ditekan ternyata batu tersebut memiliki sifat keras, jika diangkat ternyata batu tersebut memiliki berat, jika diperhatikan batu tersebut memiliki warna, jika diketuk batu tersebut memiliki bunyi, dan jika dipertimbangkan batu tersebut memiliki fungsi yakni untuk membangun sebuah tanggul atau jalan beraspal misalnya. Inilah aksiden-aksiden yang melekat pada esensi ada-nya batu. Sama halnya dengan wujud. Kita telah mendapati konteks bahwa wujud merupakan adikodrati, dengan bermodalkan logika kepastian, kita dapat menyematkan sifat-sifat wajib (pasti) dan sifat mustahil bagi-Nya, karena segala aktifitas wujud adalah mulia. 20 sifat wujud dan 99 asma-Nya berusaha mengatakan secara tersirat bahwa sang wujud benar-benar serius dengan aksiden dan kuiditas adikodrati-Nya. Jadi wajar jika ada kontradiksi di dalamnya, karena ketidak unggulan maujud itu sendiri yang memberi aksiden kepada-Nya yang merupakan emanasi dari pada-Nya. Andai wujud tidak meng-ada-kan atau mengaktualkan maujud maka maujud pun tidak akan memberikan aksiden kepada-Nya, karena yang berakal hanya dia seorang. Di sini penulis berusaha mengajak para pembaca untuk memisahkan antara prinsip dengan manifestasi, substansi dan aksiden, dan air laut dengan garamnya agar dapat memisahkan antara yang kekal dan yang sementara.