Baik, langsung saja. Dari
pengamatan terhadap alam kita dapat membuka beberapa pintu hikmah yang
tersembunyi yang dapat dibuka dengan akal, baik nalar maupun akal budi, indra
dan hati. Dikatakan tersembunyi karena seringnya pintu-pintu hikmah tersebut
luput dari kesadaran maujud atau kerumitan maujud itu sendiri untuk
mengabstraksi setiap fenomena. Pintu hikmah yang pertama; bahwasanya pada
setiap fenomena realitas terdapat gradasi, baik dalam ekosistem atau pun
kehidupan dan aktifitas sehari-hari maujud itu sendiri, yang bertumpuk-tumpuk
yang bahkan dapat ditemui pada serial televisi. Contoh: setelah angka satu maka
angka yang lebih unggul selanjutnya adalah angka dua. Jika Sadra memiliki uang
sebanyak satu juta, bukankah dua juta akan lebih baik? (dalam hal ini bukan
berarti; jika satu wujud itu baik, bukankah dua wujud akan lebih baik? Karena
ini tidak masuk akal. Wujud adalah pemenang tunggal yang tiada tanding). Contoh
selanjutnya datang dari bayi, bayi itu tidaksama dengan anak SMA karena faktor
fisik, pengetahuan, pengalaman, kedewasaan, dan juga kehidupan sang bayi pun
baru saja dimulai. Demikian pula orang dewasa yang berbeda dengan anak SMA
karena faktor serupa dan juga ruang lingkupnya dipenuhi oleh tanggung jawab.
Orang parlemen berbeda dengan pengamen karena pengetahuan yang dimilikinya.
Singa berbeda dengan zebra karena naluri yang dimilikinya. Dan manusia berbeda
dengan monyet karena instrument yang digunakannya. Manusia didominasi dengan
akal, indra dan hati yang siap membimbingnya ke arah yang progresif, sedangkan
monyet didominasi oleh naluri. Maujud tidak dapat menciptakan hyle dan hanya
bisa pasrah ketika ia telah sakaratul maut. Ia hanya dapat menangkap, mengolah
apa yang telah tampak dan mempelajarinya. Itu artinya maujud telah menunjukkan
setidaknya dua ketidaksanggupannya dalam hal kehendak. Maujud tidak sanggup
menciptakan langit beserta gemerlap bintang dan planet-planetnya, sedangkan
lagit ada bukan karena ada dengan sendirinya atau pun qadim, sebab langit pun
terdiri dari susunan debu dan partikel yang memiliki gaya tarik semacam
grafitasi yang berkumpul dan menggumpal hingga mendapatkan bentuk seperti yang
kita lihat sekarang ini. Pertanyaan penting dalam paragraph ini ialah; siapa yang menyelenggarakan langit beserta
isinya tersebut?Kebetulan atau ada dengan sendirinya adalah jawaban yang
remeh melihat hasil terjadinya yang begitu menakjubkan. Adanya alam semesta
pastilah adanya unsur kesengajaan. Sedangkan dalil gradasi mengisyaratkan
adanya sesuatu yang melampaui maujud yang dapat menciptakan apa yang tidak
dapat diciptakan oleh maujud dimana makhluk yang paling cerdas ibarat seekor
monyet yang dibandingkan dengan manusia, dimana kecacatannya tampak begitu
jelas jika membandingkan makhluk terbaik dengan suatu gradasi puncak di atas
maujud.
Gradasi
puncak inilah yang diyakini telah meng-ada-kan alam dan menyelenggarakan
kehidupan. Semesta pastilah memiliki batas. Karena jika alam semesta memiliki
sifat tanpa batas maka yang tanpa batas menjadi jamak, wujud dan alam. Ini
merupakan suatu kemustahilan mengingat wujud tidak memerlukan tandingan, karena
ia adalah adikodrati dengan gradasi paling awal. Karena alam semesta memiliki
batas itu artinya alam semesta adalah fana dan tidak selalu ada.
Dengan
ketidakunggulan maujud, pembaca dapat menangkap isyarat keberadaan sesuatu pada
gradasi puncak yang mandiri dan mampu, yang tidak merasakan sakit dan hanya
memiliki keunggulan dan tidak memiliki keterbatasan yang menyebabkan ia selalu
ada. Inilah hasil analogi dari gradasi alam kepada kehidupan yang berakhir
dengan wujud niscaya yang adikodrati. Dan itu pula yang dinamakan dengan
kesadaran berketuhanan. Sadar akan adanya gradasi pada setiap langit yang
berakhir pada ‘prima causa’, Penyebab dari semua penyebab. Alam tidak mungkin
ada karena kebetulan, sebab tinta yang tanpa sengaja tertumpah takkan pernah
menjadi puisi.
Dan
juga tidaklah mungkin sekiranya alam menciptakan dirinya sendiri, sebab
kehendak hanya dimiliki oleh sesuatu yang berakal. Sedangkan alam tidaklah
berakal sehingga tidak memiliki kehendak. Wujud diidentikkan dengan akal karena
segala hal yang disifati dengan akal adalah kemuliaan. Bayangkan dengan flora
dan fauna yang tidak memiliki akal dan hanya menuruti nalurinya sendiri, tentu
keduanya tidak akan sanggup membangun sebuah peradaban, melainkan alam liar
dimana hukum rimbalah yang berkuasa. Jika alam semesta menciptakan dirinya
sendiri, itu artinya alam semesta yang didominasi oleh hyle mati memiliki
kehendak. Lalu kenapa tidak, setelah menciptakan dirinya sendiri, planet pluto
sebagai planet yang tersedia di jagad raya dan bagian dari alam mengerjakan
tugas kelompok bersama planet yang ia cintai? Atau mengapa batu tidak dapat
berjalan ke masjid dan menunaikan kewajibannya? Kenapa patty tidak dapat
menggoreng dirinya sendiri? Bukankah alam memiliki kehendak? Jikalau
alam menciptakan dirinya sendiri yang begitu hebat dan mengerikan, lantas apa
gerangan yang menyebabkan atheis tidak menyembah alam? Bukankah alam itu
adikodrati dengan gradasi di atas maujud, yang dapat menciptakan apa yang tidak
dapat diciptakan oleh maujud? Jika alam mampu menciptakan dirinya sendiri dan
tidak membutuhkan ritual penyembahan , bukankah dapat dikatakan bahwa ciptaan
tidak tahu diri dan tidak tahu balas budi? Bayangkan, sesosok maujud telah
di-ada-kan, ia dapat merasakan kelezatan makanan, merasakan nikmatnya rasa
kenyang setelah sebelumnya merasakan kelaparan, merasakan segarnya segelas air
putih di tengah keletihan, merasakan indahnya mencintai walau nasib kisahnya
tidak seberuntung yang lain. Meski ada terkadang terasa mengecewakan, menyebalkan, dan berat,
akan tetapi dengan ke-ada-an ini maujud dapat menjadi lebih bijak dan dewasa
dalam menyikapi suatu fenomena. Di manakah putih jika tanpa hitam? Di manakah
letak kedamaian jika tanpa kerusuhan? Seseorang menjadi buruk karena seseorang
ada yang menjadi baik. Seseorang menjadi pintar karena seseorang yang lain ada
yang menjadi bodoh. Makhluk terlahir dengan aksiden dualisnya, atau bahkan
lebih. Memang ada adalah kesempatan untuk mandapatkan nikmat yang hakiki di
tempat lain nanti, yang tidak akan pernah siapa pun rasakan jika ia tidak ada.
Itulah alasan mengapa banyak orang mengatakan bahwa hidup adalah anugrah.
Karena ada adalah kenikmatan.
Sedangkan
yang ke dua adalah tentang waktu. Waktu adalah hasil pengematan makhluk
terhadap alam. Sedangkan alam ada lebih dahulu ketimbang maujud yang membuat
gagasan tentang waktu tersebut. Waktu adalah hasil fenomena alam yang
berpangkal kepada gerak. Karena alam terus menerus bergerak hingga berevolusi
yang berpuncak pada maujud yang berakal, maka ia diikat oleh maujuddengan
waktu. Inilah kuiditas-Nya. Dan jika wujud mengandung unsur gerak, maka
pergerakan-Nya dapat diukur oleh waktu, seperti: sejak kapan? Sampai di mana?
Dan sedang apa? Jika pertanyaan ini dijawab maka dapat dikatakan bahwa wujud
tidaklah mutlak melainkan tumbuh dan berkembang dalam dan bersama waktu. Jadi
wujud adalah diam aktif yang tinggal di dalam dirinya sendiri. Jika ditelisik
melalui sudut pandang metafisika, biogenesis merupakan kenyataan yang konkret,
karena substansi kehidupan berasal dari sesuatu yang telah ada; yakni ada dalam
ide wujud yang menjadikannya maujud-maujud yang potensial menjadi aktual. Namun
jika aspek metafisika tidak dilibatkan dalam diskursus tersebut maka terma
kisah penciptaan jatuh ke dalam creation
ex nihilo penciptaan dari ketiadaan. Inilah sisi letak kekeliruan filsafat
Herakleitus, karena dalilnya tidak dapat diterapkan dalam konsep ketuhanan. Ia
hanya dapat diterapkan pada pasca penciptaan itu terjadi.
Ketiga;
20 sifat wujud dan juga 99 asma-Nya merupakan atribut yang maujud kenakan
kepada wujud akibat emanasi pancaran kasih sayang-Nya. Seperti; kita melihat
batu di toko material atau di pinggir jalan dimana jumlah batu lebih dari satu,
inilah kuantitasnya. Lalu setelah ditekan ternyata batu tersebut memiliki sifat
keras, jika diangkat ternyata batu tersebut memiliki berat, jika diperhatikan
batu tersebut memiliki warna, jika diketuk batu tersebut memiliki bunyi, dan
jika dipertimbangkan batu tersebut memiliki fungsi yakni untuk membangun sebuah
tanggul atau jalan beraspal misalnya. Inilah aksiden-aksiden yang melekat pada
esensi ada-nya batu. Sama halnya dengan wujud. Kita telah mendapati konteks
bahwa wujud merupakan adikodrati, dengan bermodalkan logika kepastian, kita
dapat menyematkan sifat-sifat wajib (pasti) dan sifat mustahil bagi-Nya, karena
segala aktifitas wujud adalah mulia. 20 sifat wujud dan 99 asma-Nya berusaha
mengatakan secara tersirat bahwa sang wujud benar-benar serius dengan aksiden
dan kuiditas adikodrati-Nya. Jadi wajar jika ada kontradiksi di dalamnya,
karena ketidak unggulan maujud itu sendiri yang memberi aksiden kepada-Nya yang
merupakan emanasi dari pada-Nya. Andai wujud tidak meng-ada-kan atau mengaktualkan
maujud maka maujud pun tidak akan memberikan aksiden kepada-Nya, karena yang
berakal hanya dia seorang. Di sini penulis berusaha mengajak para pembaca untuk
memisahkan antara prinsip dengan manifestasi, substansi dan aksiden, dan air
laut dengan garamnya agar dapat memisahkan antara yang kekal dan yang
sementara.